Pertunjukan Seni Keliling Yang Semakin Langka

Rombongan Tajoeb di sebuah desa di Jawa (Koleksi: Sanapustaka Kraton Surakarta)

Memori masa kecil kadang-kadang datang melintas tanpa sebab memberi inspirasi, membawa kembali kenangan yang bila dicari kembali sulit untuk ditemui. Dahulu di desaku aku sering melihat sebuah pertunjukan orang menari diiringi gamelan, tidak begitu banyak anggota penari tersebut. Mereka beranggotakan 3 orang penari, dan 4-5 pemain musik gamelan, mereka sering berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Kata orangtua di desaku mereka adalah rombongan ledek. Rombongan tersebut berkeliling tidak setiap hari, hanya hari-hari tertentu saja menurut tanggalan Jawa ataupun ketika sebuah desa mengalami panen. Mereka memainkan musik dan menari di punden desa, terkadang ketika menari ibu-ibu yang menonton sambil menggendong anak-anak kecil meminta penari-penari tersebut untuk memberi doa (suwuk) kepada anak-anak mereka agar terhindar dari malapetaka. Tentunya dulu aku juga pernah mengalami hal ini di (suwuk).

Wajang orang diiringan musik gamelan di sebuah desa, Jawa 1910 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Rombongan penari keliling bukan semata-mata seni, tetapi juga dimanfaatkan sebagai tujuan-tujuan politis ataupun sebagai alat masyarakat untuk mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Berbagai Tulisan sejarah maupu novel yang berlatar belakang sejarah banyak mengungkapkan hal ini. Kisah Ki Ageng Mangir yang takluk oleh tarian tayub dari Retno Pembayun anak Panembahan Senopati, ataupun kisah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang memberi gambaran betapa seni dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mengagitasi masyarakat dalam mencapai tujuan politik. Tapi yang pasti bahwa aktifitas seni dahulu banyak dilakukan secara berkelompok di panggung-panggung terbuka yang jauh dari eksklusifitas. Mereka menari dan memainkan musik di tonton oleh masyarakat dari berbagai lapisan, dengan imbalan seadanya dari masyarakat yang menonton.

Rombongan Musik Gamelan dan Penari di Bali 1870 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pada masa kolonial Belanda ketika banyak terlihat rombongan seni yang melakukan pertunjukan berkeliling desa. Sebagian telah menjadi bagian dari budaya kota dengan melakukan pertunjukan diberbagai gedung seni yang dibangun oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari klangenan mereka. Pertunjukan mereka menjadi eksklusif karena hanya ditonton oleh kalangan masyarakat tertentu saja. Selain itu musik dan tarian tradisional yang dimainkan di gedung kesenian tidak ada acara suwuk tentunya karena seni hanya ditujukan sebagai pertunjukan seni semata, sebagai hiburan ditengah kepenatan kehidupan perkotaan yang melaju dengan cepat. Pertunjukan seni tradisional ini tentunya bersaing dengan budaya dansa dan musik yang di bawa oleh orang-orang Eropa.

Rombongan Angkloeng dan Tari Koeda Kepang di Jawa Barat 1895 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Sekarang sudah tidak banyak lagi rombongan seni keliling ini di kampung-kampung, beberapa kali aku pulang ke desaku dan sempat aku tanyakan kepada tetangga, jawaban mereka belum tentu ada dalam setahun rombongan ledek ini mampir. Mereka rupanya kalah dengan kemajuan seni modern yang lebih digandrungi oleh masyarakat terutama generasi muda. Hanya saja beberapa kelompok kesenian di Solo dari berita-berita di media massa telah banyak melakukan pertunjukan keliling ke kampung-kampung. Semoga saja dengan pendekatan ini mereka dapat diterima dan mendekatkan kesenian lebih dekat lagi kepada masyarakat.

————————-000000000000000————————————

2 comments on “Pertunjukan Seni Keliling Yang Semakin Langka

Tinggalkan Balasan ke phesolo Batalkan balasan