Semenjak jalan-jalan di Hindia Belanda mulai dibangun sebagai sarana mobilitas eksploitasi kolonial maka semenjak itu pula persentuhan peradaban modern mulai merambah ke dalam wilayah-wilayah di kepulauan Hindia. Jawa, dapat dikatakan menjadi tempat pertama dari persentuhan dan gesekan laju modernitas ini. Mulai dari pendidikan hingga teknologi modern menghinggapi kehidupan masyarakat Hindia Belanda saat itu sehingga tak heran pemerintah kolonial Hindia Belanda mengimbanginya dengan membangun sarana dan prasarana modernitas ini.
Masuknya mobil sebagai sarana transportasi modern ke Hindia Belanda diimbangi dengan pembangunan jalan-jalan yang mulus bahkan dengan teknologi pengerasan jalan menggunakan aspal, kita dapat melihat jalan yang mulus dan keras yang dapat dilalui oleh mobil kecil maupun besar. Buku Rudolf Mrazek yang berjudul Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in Colony, menjelaskan semua ini. Bagaimana jalan-jalan di Hindia Belanda telah menjelma menjadi sebuah pameran dengan menciptakan tontonan perbedaan kelas yang gamblang terlihat mata. Mulai masyarakat yang berjalan kaki, naik sepeda, naik delman, dolar, andong, trem dan bahkan mobil-mobil pribadi yang memenuhi jalanan. Tidak hanya itu, mobil telah menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Hindia Belanda terutama sebagai supir.
Supir mobil, tidak jauh berbeda dengan kusir yaitu orang yang ahli mengendarai alat transportasi. Supir mobil pun pada masa kolonial terbagi menjadi dua yaitu supir pribadi dan supir mobil angkutan umum. Coba saja cermati dialog-dialog dalam novel Rumah Kaca milik Pramoedya Ananta Toer yang banyak menceritakan perjalanan menggunakan mobil baik mobil pribadi maupun mobil sewaan (Taxi).
Supir pribadi biasanya bekerja bagi tuan-tuan Eropa ataupun bangsawan yang memiliki mobil, mereka merupakan bagian dari domestic workers, sedangkan supir kendaraan umum merupakan supir yang menjalankan mobil yang disewakan dan biasanya mereka bekerja kepada juragan atau pemilik mobil yang disewakan. Rudolf Mrazek sekali lagi menggambarkan bagaimana gambaran supir taxi dalam sebuah foto memperlihatkan sebuah mobil yang modern, dengan sopir orang Indonesia, menggunakan peci yang sejak tahun 1930-an menjadi penanda bagi kaum nasionalis radikal. Mereka juga memiliki sebuah serikat pekerja terutama di Yogyakarta dengan nama PCM (Persatoean Chaeffeur Mataram) yang didirikan sekitar tahun 1931-an. Memang pada awal abad ke-20 profesi supir merupakan profesi yang yang bagus dengan bayaran yang tinggi dan hampir semua masyarakat seperti Belanda, China dan Indonesia suka menjadi supir tetapi seiring berjalannya waktu hanya bangsa Indonesia saja yang tetap menjadi supir, bangsa Belanda dan China telah meninggalkan profesi ini.
So, modernitas kembali membuka lembaran bentuk profesi baru untuk menjalankan mesin-mesinnya dengan menciptakan Supir sebagai profesi untuk menjalankan mobil. Dari profesi yang baik bagi semua bangsa menjadi profesi bagi kaum pribumi…!!
———-0000———-
gw heran, org indo gk dendam kpd belanda dan jepang. org indo terlalu baik atau terlalu goblok?
Ya mungkin orang Indonesia sangat welas asih mas…thanks sudah mampir..:) Salam