Perubahan Hak Memilih Buat Gemeenteraad Sikap Kommunist Terhadap Parlementarisme (Bagian I)

Kediaman Gubernur Jendral Batavia (Foto Koleksi: Kraton Kasunanan Surakarta)

Kediaman Gubernur Jendral Batavia (Foto Koleksi: Kraton Kasunanan Surakarta)

Beberapa waktu lalu telah terjadi sebuah drama politik di parlemen Indonesia yang membuat berang sebagian besar masyarakat karena hak memilih langsung pemimpin daerah dikebiri dengan undang-undang baru mengenai perubahan undang-undang pemilihan kepala daerah dari langsung dipilih oleh rakyat menjadi diwakilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perubahan ini dianggap mematikan hak demokrasi masyarakat dan banyak penolakan terjadi tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Pusat (DPR) tetap mengsahkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang.

Bila kita kembali ke masa pergerakan maka kita akan tahu bahwa bagaimana parlemen di Indonesia muncul dan bagi kepentingan siapa parlemen ini dibuat. Dan di bawah ini adalah salah satu artikel dari surat kabar Api tanggal 31 Juli 1925 yang dengan bagus mengupas bagaimana sebenarnya parlemen pada masa pergerakan dan pada masa Indonesia sebelum merdeka. Artikel ini juga bisa menjadi kaca bagi kita semua dalam bersikap terhadap parlemen.

HAK MEMILIH wakil-wakil buat gemeenteraad akan diubah. Rancangan perubahan ini dimajukan oleh regeering kepada volksraad. Volksraad nanti akan bicarakan ini rancangan. Sesudahnya ia dikirim ke Nederland dan terus dibicarakan di tweede kamer. Diterima baik atau tidak itu rancangan, itulah kita tidak tahu.

Surat surat kabar Belanda di sini sudah ramai membicarakan rancangan perubahan ini. Ada yang mupakat, ada yang setengah mupakat, dan ada yang tidak mupakat sama sekali. Ada juga surat kabar yang menulis, bahwa perubahan itu masih kurang. Ini surat kabar kata, bahwa perubahan itu masih kurang. Ini surat kabar kata, bahwa perubahan yang dirancang itu tidak menyenangkan, apa lagi Rakyat Bumiputra, karena perubahan yang serupa itu sesungguhnya tidak besar, meskipun kelihatan besar.

Marilah kita periksa rancangan perubahan ini. Nanti kita sebagai Kommunist akan menyatakan pikiran kita tentang perubahan itu. Sampai sekarang surat-surat kabar Bumiputra belum begitu ramai merembuk ini rancangan. Dan inilah memang sikap yang baik, ini perubahan sesungguhnya tidak besar faedahnya atau sama sekali tidak ada faedahnya. Jadi memang sepatutnya orang tidak perlu ramai-ramai karena melihat itu rancangan. Meskipun sudah jadi wet sekalipun, itu perubahan hak memilih buat gemeenteraad tidak akan mengubah sama sekali nasibnya penduduk-penduduk gemeente yang melarat dan sengsara.

Apabila kita, kaum Kommunist, sekarang suka membicarakan ini rancangan perubahan, itulah sebabnya tidak lain: karena kita mau membuktikan seterang-terangnya, bahwa itu urusan jika sudah jadi wet, memang sungguh-sungguh tidak ada gunanya bagi Rakyat terbanyak. Menurut aturan yang berjalan sampai sekarang, maka penduduk gemeente bangsa Bumiputra yang boleh memilih wakil-wakilnya sendiri, yaitu penduduk-penduduk yang sudah umur 23 tahun. Mereka itu harus bisa bahasa Belanda dan mempunyai pendapatan setahun-tahunnya tidak kurang dari f600, jadi pendapatannya tiap-tiap bulan f50. Mereka itu sebelum tanggal 1 Maart harus sudah membayar pajaknya negeri, dan mereka harus orang-orang bawahan Nederland. Penduduk-pendudukTionghoa atau Arab bisa mendapat hak memilih itu, jika mereka bisa mencukupi permintaan-permintaan kepada penduduk-penduduk Bumiputra itu. Hak memilih ini cuma diberikan kepada penduduk-penduduk lelaki saja.

Menurut rancangan perubahan ini, maka batas umur 23th. itu diundur jadi 21 tahun. Hak memilih itu diberikan kepada penduduk-penduduk perempuan dan lelaki, yang bisa membaca dan menulis, yaitu bisa dilihat jika orang-orang itu pergi sendiri ke kantor gemeente buat menunjukkan, bahwa mereka suka mempunyai hak memilih itu. Jadi orang tidak perlu mengerti bahasa Belanda buat bisa jadi tukang milih.

Penghasilan pemilih tidak lagi f 600, setahun sepert sekarang, tetapi diundur jadi f 120, atau f 10, sebulan. Begitupun untuk bisa jadi pemilih tidak perlu penduduk sudah membayar pajak lebih dulu seperti yang berlaku sampai sekarang. Asal ia sudah diwajibkan membayar pajak kepada negeri, provinsi atau gemeente, itulah sudah cukup untuk menerima hak memilih itu. Perempuan-perempuan mendapat hak memilih, asal suaminya sudah dipajaki. Tidak perduli, apakah si laki mempunyai satu, dua atau tiga isteri. Itulah wujudnya rancangan baru dari hak memilih buat gemeenteraad-gemeenteraad di Indonesia. Kita harus ingat, itu semua baru rancangan saja dan belum jadi wet. Jika rancangan itu sudah disahkan di Nederland, kelihatannya di sini jadi perubahan besar. Cuma saja jika kita suka periksa lebih teliti pula, kita bisa tahu, bahwa itu perubahan hak memilih tidak besar faedahnya. Inilah nanti akan kita terangkan juga.

Tetapi meskipun begitu, surat-surat kabar dari pihak kapital yang reaksioner sudah menunjukkan tidak setujunya dengan itu perubahan. Soerabaja Handelsblad sudah membuka mulut lebar. Ia menulis, bahwa dengan perubahan yang demikian babu-babu dan jongos-jongos nanti bisa jadi pemilih wakil-wakil buat gemeenteraad. Ia takut melihat keadaan yang demikian. Ia memvorstelkan, supaya hak memilih tidak diberikan kepada orang perempuan. Penduduk yang mendapat hak memilih itu harus ditentukan mempunyai penghasilan sekurang-kurangnya f 300 setahun dan tidak f 120, seperti yang dirancang oleh regeering itu. Begitupun juga orang yang mau mendapat hak memilih itu harus melunasi pajak-pajaknya. Itu surat kabar menulis, bahwa hak memilih itu bukan hak yang memang jadi kepunyaan tiap-tiap manusia. Hak memilih keperluan umum saja. Begitulah tulis itu surat kabar. Sayanglah yang ia tidak terangkan jelas pula apakah “keperluan umum” itu. Ia tidak kata lebih terang pula apakah keperluan umum itu, keselamatan semua penduduka taukah keperluan umum cuma keperluannya satu dua orang kapitalis, yang menguasai sumber-sumber penghidupan itu saja.

Itu surat kabar kata tidak bisa mengerti, apakah sebabnya regeering membikin voorstel yang demikian dan memajukan voorstel itu kepada Volksraad. Karena ada perkataan-perkataan yang tidak menyetujui itu, orang banyak di sini jadi mengira, bahwa itu perubahan sungguh besar sekali dan besar juga gunanya bagi keselamatan Rakyat, yang sekarang umumnya sudah ada dalam kemelaratan itu.

Karena ada celaan-celaan yang serupa itu, orang-orang yang tidak suka pikir panjang lalu mengira, bahwa perubahan hak memilih itu bisa menimbulkan perubahan dan perbaikan nasib kepada penduduk-penduduk gemeente yang kekurangan. Karena ada suara-suara seperti yang termuat dalam itu surat kabar, maka perubahan itu membangunkan keinginan yang keras. Semua pikiran lalu terpusatkan kepada ini perubahan. Lain-lainnya soal yang perlu, seperti soal makan, soal tempat tinggal, soal pakaian, jadi dilupakan karena cuma memperhatikan itu perubahan saja.

Surat-surat kabar putih memang tahu, bagaimana mereka harus bermain-main dengan pikiran umum di sini. Pers itu memang tahu, bagaimana ia harus membingungkan pikiran Rakyat yang ada dalam kesukaran supaya melupakan penghidupannya yang sengsara itu. Untunglah, yang surat-surat kabar Bumiputra sampai sekarang tidak ada yang kelihatan tertarik hatinya oleh ini perubahan. Dan inilah baik! Karena itu perubahan tidak mengubah apa-apa, cuma mengubah ramainya orang yang berkata saja, tetapi tidak mengubah nasibnya Rakyat sedikitpun juga. (Api, 31 Juli 1925)

(Diambil dalam buku : Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempo Doeloe, Yayasan Pancur Siwah, 2003)

Tinggalkan komentar