Candi Sojiwan: Lambang Kerukunan dan Kebajikan

Candi Sojiwan, Jawa Tengah (Koleksi: BP3 Jawa Tengah)

Candi Sojiwan, Jawa Tengah (Koleksi: BP3 Jawa Tengah)

Masalah intoleransi di negeri ini sepertinya terus memuncak dan menjadi-jadi saja baik antara sesama umat beragama maupun antar umat beragama. Setelah warga Ahmadiyah yang mengalami kekerasan dan pengusiran, giliran warga penganut Syiah di Madura diusir dari tanah mereka dan tempat mereka mengungsi oleh kelompok masyarakat Sunni. Saya tidak habis pikir mengenai hal ini, bagaimana bisa masyarakat yang mengatasnamakan agama “Rahmatan Lil Alamin” mengusir saudara-saudara mereka sendiri, tentunya saudara sebangsa dan setanah air. Apakah memang tidak ada lagi jalan yang lebih damai untuk ditempuh tanpa harus melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Mungkin untuk saat ini kaum minoritas satu agama dan bisa jadi ke depan kaum minoritas lain akan menjadi korbannya bila tidak segera dicegah.

Rakyat diusir dari tempat kelahirannya sendiri tanpa bisa dicegah oleh Negara membuktikan bahwa Negara kita memang tidak mampu menjadi tempat berlindung bagi seluruh pemeluk agama dan kepercayaan walaupun Undang-Undang Dasar telah menjamin itu semua. Masih banyak kelompok-kelompok yang berusaha menghegemoni kebenaran dalam ber-Tuhan, padahal masalah Ketuhanan adalah wilayah pribadi masing-masing. Negara melalui pemerintah seharusnya bertindak tegas terhadap kelompok yang melakukan pengusiran tersebut dan melindungi kelompok minoritas Syiah untuk kembali ke tempat asal mereka bukan merelokasinya. Ya, mau apalagi pemerintah kita memang dungu dan kelompok pengusir adalah masyarakat bebal yang sulit untuk diajak bicara untuk lebih toleran dengan kelompok penganut kepercayaan lain seharusnya ada solusi yang saling menghormati, apalagi melihat kenyataan sejarah bahwa telah banyak momen-momen maupun artefak yang menunjukkan bahwa Negara kita dibangun dari toleransi-toleransi yang harmonis antara kepercayaan pendatang dan lokal. Salah satu contohnya adalah artefak bangunan candi Sojiwan di wilayah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Baca lebih lanjut

Dewa-Dewi dalam Sistem Pantheon Pada Masa Mataram Kuno (Bagian 3-Habis)

Dyanibudha Amitabha di Candi Borobudur Magelang 1900 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kehidupan masa lampau masyarakat Jawa pada masa Mataram Kuno merupakan sebuah kehidupan harmonis dimana kepercayaan yang berkembang hidup saling berdampingan. Agama Hindu yang berdampingan dengan Agama Budha mewujudkan karya-karya fenomenal dalam bidang arsitektur bangunan candi. Sebagai tempat pemujaan, candi memiliki informasi mengenai berbagai kehidupan masa lampu melalui relief-relief yang terukir di candi tersebut. Candi-candi yang dibangun juga menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap agama-agama tersebut dan kepercayaan terhadap dewa-dewa patron mereka. Seperti dalam agama Hindu, agama Budha juga memiliki tingkatan kedewataan atau sistem panteon yang digambarkan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk arca. Akan tetapi untuk memahami panteon dalam agama budha harus memerlukan perhatian yang lebih karena terkait erat dengan sekte yang melatarinya. Baca lebih lanjut

Dewa-Dewi dalam Sistem Pantheon Pada Masa Mataram Kuno (Bagian 1)

Siwa Mahadewa, Prambanan, Jawa Tengah 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kebudayaan tak pelak lagi juga menyangkut masalah kepercayaan terhadap sebuah kekuatan yang besar dan dipercayai oleh masyarakatnya. Kekuatan besar yang tak kasat mata dan menguasai alam semesta yang dimanifestasikan ke dalam beberapa bentuk ikon atau simbol-simbol.  Ikon ini dapat diartikan sebagai tokoh, gambar perwujudan, atau tanda yang diketahui secara umum dan mempunyai makna tertentu. Dalam budaya India, ikon ini digunakan untuk mempresentasikan wujud dewa dalam bentuk Arca. Fungsi Arca sendiri berkaitan dengan ritual keagamaan karena menjadi bagian dari ritual keagamaan itu sendiri. Arca merupakan objek pemujaan yang sebenarnya merupakan media bagi manusia untuk melakukan komunikasi dengan dewa yang dipuja. Terdapat kepercayaan bahwa dalam melakukan pemujaan, para pemuja diwjibkan melakukan kontak mata dengan mata dewa yang diarcakan. Oleh karena itu penglihatan mata arca (darshan) yang jatuh pada mata pemujanya menjadi salah satu syarat dalam pengarcaan dewa. Arca dapat digunakan juga sebagai alat bantu konsentrasi pada saat melakukan meditasi. Sejumlah arca menggambarkan praktek-praktek meditasi yang ditunjukan melalui mudra dan asana-nya. Baca lebih lanjut