Kromo di Jawa

Oleh: Saturnus

Sinar Djawa, 20 Pebruari 1918

 Pagi-pagi pukul lima bangunlah Kromo dari tidurnya akan mengusahakan sawahnya. Ia mengeluarkan kerbau dari kandangnya dan memanggul bajak, menyingsingkan bajunya. Seorang budak kecil yang belum berumur, meskipun belum waktunya bekerja berat, berjalan di belakang bapanya itu membawa cangkul. Bekerjalah Kromo dengan anak sekeras-kerasnya setiap hari. Setelah pukul sebelas pulanglah Kromo dengan perut kosong, tetapi seribu sayang perutnya itu tak dapat diisi dengan segera, karena bini Kromo belum datang dari pekan menjual kayu-kayu dan daun pisang. Kromo terpaksa menunggu kedatangan bininya itu dengan bekerja memotong-motong kayu, mengambil buah nyiur akan dijual, pada esok paginya. Kira-kira jam dua Kromo baru bisa makan dengan nasi merah dan ikan gerih; tetapi kelihatanlah amat lezat cita rasanya karena dia empunya perut “amat kosong.” Habis makan pergi pula Kromo ke sawah, pada pikirannya biarlah lekas selesai pekerjaannya itu. Jam enam sore ia baru pulang, kalau tak ada nasi biasanya makan ketela pohon yang direbus atau dibakar; itulah sudah cukup buat menahan perutnya. Dari payahnya pada waktu malam ia tidur pulas, dan bininya senantiasa: “remrem ayam” sebab merasakan apakah gerangan yang akan dimakan pada esok paginya??? Baca lebih lanjut

Haluan Saya

oleh: Tjipto Mangoenkoesoemo

Sinar Djawa, 27 Juli 1917

Dalam De Indier yang terbit pada hari Sabtu tanggal 30 Juni, Tuan Tjipto Mangoenkoesoemo ada tulis tersalin oleh Mojopahiet seperti berikut:

Suratnya Procurer Generaal telah menyebabkan saya memikirkan bermacam-macam ini, misalnya hal kekurangan keadilan, yang mana kita di Hindia ini selalu ada menjadi kurban dan memikirkan pikiran-pikiran orang tentangan diri saya yang tidak beralasan dengan kebenaran sedikit juga. Hal ini boleh mendatangkan persangkaan yang salah atas diri saya, hal mana sekarang juga di kemudian harinya boleh menerbitkan berbagai-bagai bantahan. Hoofdbestuur dari vereeniging Insulinde telah menerangkan dengan panjang lebar dan dengan seterang-terangnya, bahwa Procureur Generaal ada mempunyai pikiran yang salah tentangan vereeniging Insulinde dan tentangan hak-haknya yang telah diaku sah oleh pemerintah tinggi di Hindia Nederland. Saja tidak dapat mengubah dan menambah apa-apa yang telah diterangkan itu. Apa yang akan saya tulis di atas ini, ialah suatu keterangan, yang bahasa saya terpaksa mempertahankan diri saya dengan sekeras-kerasnya, apabila dan di mana saja orang berdaya upaya akan membusukkan atau memburukkan nama saya, sebagaimana telah terjadi dengan suratnya Procureur Generaal itu. Baca lebih lanjut

Jangan Takut

Oleh: Marco
Sinar Djawa, 11 April 1918.

Sungguhpun amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah (orang yang tertindas), lihatlah adanya pemogokan yang berulang-ulang diwartakan dalam Sinar ini. Di situ sudah menunjukkan bilangannya berpuluh-puluh korban itu pemogokan, inilah memang sudah seharusnya. Sebab melawan kaum yang mempunyai pabrik-pabrik itu sama artinya dengan melawan pemerintah yang tidak adil. Kalau kami menilai hal itu saya lalu ingat bunyinya buku: Om leven en vrijheid dan Zes maanden onder de commando’s. Buku-buku itu menunjukkan betapa haibatnya peperangan antara orang Inggris dan orang Belanda (booren) ada di Zuid-Afrika. Karena pada masa itu orang-orang yang ada di Zuid-Afrika (Kaapstad, Bloemfontein enz) merasa dihinakan oleh pemerintah Inggris. Lantaran hal ini, maka di situ timbullah peperangan suara (surat kabar), yaitu fihaknya Pemerintah dan fihaknya rakyat. Tidak jarang lagi kalau pada itu
waktu Pemerintah Inggris memberi bantuan beberapa surat kabar yang terbit di Zuid Afrika, supaya surat-surat kabar itu bisa memihak kepada Pemerintah Inggris. Barangkali Pemerintah sendiri juga membikin surat kabar, sengaja dibuat melawan suara rakyat, inilah sudah boleh ditentukan. Tuan pembaca kami kira bisa mengira sendiri, seberapa beratkah pikulan redacteur-redacteur itu yang memihak kepada rakyat di dalam itu jaman peperangan suara di Zuid Afrika? Walaupun begitu, banyak anak anak muda yang dengan sukanya sendiri turut membantu itu surat kabarnya rakyat, meskipun dia tahu juga, bahwa bantuannya itu hanya kekuatan yang kecil sekali. Tetapi kekuatan kecil itu kalau bertimbun-timbun jadi kekuatan yang besar! Baca lebih lanjut

Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?!

Oleh: Marco

Sinar Djawa, 26 Maret 1918.

 Tuan H.E.B. SCHMALHAUSEN, pensiunan Assistent Resident di tanah Jawa bukunya yang dikasih nama OVER JAVA EN DE  JAVANEN, betapakah sangsaranya bangsa kita orang desa yang tanahnya sama disewa pabrik. Di sini kami tidak perlu lagi  menerangkan lebih panjang tentang isinya buku yang tersebut di atas, tetapi kami hendak membuka aduan beberapa orang desa yang sawahnya disewa oleh pabrik gula. Sampai sekalian pembaca telah menaksikan sendiri, di tanah kita inilah penuh dengan pabrik-pabrik gula dan berjuta-juta rupiah pabrik itu bisa tarik keuntungan. Kalau hal itu dipikir dengan hati yang suci, orang tentu bisa berkata, bila kauntungan sebesar itu kakayaan bangsa kita orang desa yang mempunyai sawah disewa pabrik. Dari itu tidak salah lagi kalau ada yang berkata: Di mana ada pabrik gula, tembako, nila enz, enz. di situlah orangnya desa ronkang-rangkang! Meskipun kami mengerti bahwa kapitalisme dan regeering itu sasungguhnya jadi satu badan, tetapi di sini kami hendak menguraikan dengan cara yang baik, juga dengan sangat pengharapan kita supaya pamerintah sudi memperhatikan tulisan kami ini, agar supaya bangsa kita saudara desa tidak terlalu sangat mendapat tindesan dari pabrik-pabrik gula. Baca lebih lanjut