“Matinya” Transportasi Massal di Kota Solo

Jokowi di Halte Bandara Adi Sumarmo

Jokowi di Halte Bandara Adi Sumarmo

Mungkin judul tulisan ini berlebihan, tapi memang itu yang terasa saat ini ditengah menggeliatnya kota Surakarta dengan berbagai sebutan dan slogan. Mulai kota pariwisata, Spirit of Java, Solo Berseri, Kota Bengawan, dan masih banyak lagi yang membuat masyarakatnya begitu bangga. Belum lagi ditambah dengan semakin gencarnya laju pembangunan berbagai infrastruktur kota yang membuat kota Solo semakin dinamis.

Saya masih teringat ketika pertama kali datang ke kota ini. Kota kecil, tetapi sangat hidup. Kota yang merupakan jalur mobilitas masyarakat Jawa dari barat ke timur, utara ke selatan dan sebaliknya membuat kota ini hidup dari pagi hingga malam dengan berbagai aktivitas masyarakatnya. Jalur transportasi sebagai urat nadi mobilitas masyarakat juga terbilang lengkap dengan berbagai moda transportasi massal yang beragam. Kota Solo memiliki transportasi mulai dari transportasi tradisional hingga transportasi modern. Becak, andong, delman, angkutan kota (angkot), angkutan pedesaan (angkudes), bus kota, bus antar kota dan kereta api. Semuanya mengisi hiruk pikuknya kota Solo ditengah kendaraan pribadi berupa mobil dan motor yang lebih favorit dan menunjukkan status sosial masyarakatnya. Baca lebih lanjut

Perhimpunan Fu Qing (Fu Jing) di Surakarta Sebuah Sejarah Singkat

Perkampungan China di Surakarta (Koleksi: www.kitlv.nl)

Perkampungan China di Surakarta (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kota Fu Qing (Yu Rong) merupakan sebuah Kabupaten di Republik Rakyat China dimana masyarakat suku Fu Qing banyak meninggalkan kota kelahiran mereka dikarenakan tanah di kota tersebut kurang subur sehingga untuk mencari penghidupan masyarakat Fu Qing merantau keluar dari kota Fu Qing. Hingga saat ini telah tercatat hampir 800 ribu masyarakat Fu Qing yang tersebar di negara-negara Asia Tenggara, Eropa, Amerika, dan Afrika dan lebih dari 100 negara dan daerah.[1] Sebagai masyarakat perantau masyarakat Fu Qing di berbagai negara mendirikan perkumpulan kedaerahan sebagai bentuk solidaritas dan tempat saling membantu antar sesama anggota. Baca lebih lanjut

Pemukiman Tionghoa di Surakarta Masa Kolonial

Pemukiman Tionghoa di Surakarta Tahun 1901 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pemukiman masyarakat Tionghoa terletak di utara Sungai Pepe sekitar Pasar Besar ke timur di Ketandhan hingga Limalasan, ke utara sampai di Balong, ke sebelah utara menuju Warungpelem. Sedangkan pemukiman masyarakat Arab terletak di Pasar Kliwon dan Kedung Lumbu. Pemisahan ini menunjukan adanya sebuah politik segregasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial sebagai kontrol atas kekuasaan politiknya. Hingga saat ini pemukiman-pemukiman tersebut masih bertahan walaupun telah terjadi persebaran penduduk ke wilayah-wilayah lain di Surakarta. Sebagian besar etnik Tionghoa di Surakarta tinggal di kota, pada umumnya tempat tinggal mereka merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan utama. Deretan rumah-rumah tersebut merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap dan tidak memiliki pekarangan. Bentuk rumah diperkampungan etnik Tionghoa juga dapat terlihat dengan jelas karena memiliki ciri-ciri yang khas yaitu pada ujung atapnya selalu lancip dan ada ukiran-ukiran yang berbentuk naga. Perumahan semacam ini nampak di daerah Pasar Legi, Pasar Gedhe dan daerah Secoyudan. Baca lebih lanjut

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (Bagian 1)

Gambar Dewa Dalam Penanggalan Wuku

Perkembangan politik di Surakarta memang menjadi suatu jalur pergerakan nasional yang dinamis tetapi pada sisi yang lain gerakan-gerakan ini juga dilaksanakan melalui gerakan budaya. Kota Surakarta merupakan acuan dari lahir dan berkembangnya pergerakan nasional tidak hanya secara politik tetapi juga menjadi barometer perkembangan budaya Jawa. Pada masa pergerakan nasional terutama pada tahun-tahun awal pergerakan berbagai gerakan budaya muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan nasional sendiri. Hal ini menjadi wajar karena terjadi stagnasi dari proses perkembangan budaya Jawa. Perkembangan bahasa sebagai alat pergaulan pada masa pergerakan telah beralih kepada bahasa Melayu sebagai lingua franca, tidak heran ketika pada tahun-tahun 1918 muncul gerakan nasionalisme Jawa yang diusung oleh kekuatan Keraton Surakarta.

Menurut Benedict R. Anderson, Jawa terutama kerajaan-kerajaannya telah mengalami dua krisis yang telah disangga bersama-sama oleh orang Jawa dan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Pertama adalah krisis politiko-kultural dimana sejak permulaan abad ke-17 para penguasa Jawa benar-benar telah mengalami serangkaian kesalahan, kehinaan dan bencana yang hampir-hampir tak kunjung henti. Sejak akhir abad ke-18 raja-raja Pakubuwono, Hamengkubuwono dan Mangkunegoro, semuanya telah menjadi raja-raja kecil yang “berkuasa” dengan perkenan belanja dan bertahan hidup secara ekonomi demi subsidi Belanda. Ketidakmampuan golongan elit Jawa membebaskan ketertidasan rakyat dari belenggu penjajahan diungkapan secara gamblang oleh pujangga Keraton Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yaitu:
“Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Parandene tan dadi, Paliyasing kalabendu….”
(Rajanya raja utama, Perdana menterinya tegak dalam kebenaran, Bupatinya konstan hati, Pembantunya sempurna, Namun tak seorang pun tetap tinggal, Zaman malapetaka) Baca lebih lanjut

Batik dan Politik Kekuasaan

Pakubuwono X bersama Ratu Mas dan Sekar Kedaton 1935 (Koleksi: Perpustakaan Sanapustaka Kraton Kasunanan Surakarta)

Batik beberapa tahun belakangan begitu digandrungi dan dirayakan dengan berbagai acara seremoni megah di beberapa kota di Jawa. Kain atau pun tehnik ini menjadi ikon nasionalisme masyarakat Indonesia khususnya Jawa karena warisan masa lalu yang masih hidup ini telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009. Begitu bangganya, masyarakat di kota Solo mengadakan berbagai acara yang bertemakan batik, dari fashion show hingga yang termegah adalah Solo Batik Carnival. Selain itu murid-murid di sekolah dan para pegawai diwajibkan menggunakan baju batik setiap jumat. Dan ketika hari kemerdekaan RI masyarakat di Solo diwajibkan bergotong-royong menghiasi gapura masuk perkampungan dengan motif batik.
Baca lebih lanjut

Banjir di Kota Solo Tahun 1915

Koleksi Sanapustaka Kraton Kasunanan Surakarta

Sejarah mencatat bahwa peradaban manusia banyak dibangun di daerah pinggiran sungai. Sungai memberikan kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan manusia, tanah yang subur di bantaran sungai besar adalah tempat bercocok tanam yang baik bagi penduduk dan sungai juga dapat dijadikan sebagai jalur perdagangan. Hal itu dibenarkan dengan adanya teori, peradaban manusia lahir dan dimulai dari sungai. Mesir dengan Sungai Nil, India lahir dari Sungai Gangga dan Cina bersama Sungai Kuning. Sedangkan kerajaan-kerajaan Nusantara banyak berdiri di tepi Sungai, seperti Majapahit di tepi sungai Brantas. Baca lebih lanjut