Pedagang Asongan Masa Kolonial Belanda

Pedagang Asongan di Stasiun Kedoe, Jawa Tengah 1910 (Koleksi: www.kitlv.nl)

Pedagang Asongan di Stasiun Kedoe, Jawa Tengah 1910 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pelarangan, penggusuran bahkan pengusiran para pedagang asongan di beberapa stasiun kereta api menjadi topik berita beberapa waktu yang lalu. Ketika stasiun kereta api mulai menampilkan wajah modernitasnya dengan menjaga ketertiban dan keteraturannya maka sesuatu yang dianggap mengganggu harus disingkirkan. Pedagang asongan mungkin sesuatu yang dianggap mengganggu dan harus diusir, dilarang untuk berjualan di stasiun kereta api. Dan digantikan dengan “franchise-franchise” modern yang lebih teratur dan tentunya memiliki pemasukan-pemasukan bagi stasiun yang menguntungkan. Bahkan diberlakukan juga bagi stasiun-stasiun yang memberangkatkan kereta kelas Ekonomi. Atau bisa juga dalam bisnis hal ini untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat pengguna jasa kereta api terhadap gangguan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh para pedagang, pengamen, dan para pengais rejeki lainnya di stasiun maupun di dalam kereta api.  Tentunya hal ini menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Baca lebih lanjut

Hindia Belanda dalam Balutan Iklan Kapitalisme

Iklan Kipas angin Sinpo 2 Agustus 1940

Iklan Kipas angin Sinpo 2 Agustus 1940

Suara microphone terdengar nyaring di depan alun-alun Kraton Surakarta menawarkan sebuah produk obat. Orang-orang yang berlalu-lalang pun tersenyum karena kata-kata penawaran obat tersebut dalam bahasa Jawa sangat lucu dan menarik. Ya, itulah bentuk promosi dari obat segala macam penyakit ,“Moonlite” yang setiap hari terdengar di sekitar alun-alun Kraton Surakarta dekat dengan pasar Klewer. Menarik, karena bentuk iklan atau promosi barang semacam ini merupakan bentuk iklan yang paling tua dan masih dipergunakan. Baca lebih lanjut

KONDISI DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA AWAL ABAD XX

Kampongschool. Kedoe. Village school. Central Java 1910 (Koleksi:www.kitlv.nl)

A. Kondisi dan Perkembangan Pendidikan Hindia Belanda

Sebelum pemerintah kolonial menguasai Indonesia, sejarah pendidikan di Indonesia sudah dimulai. Ketika itu pendidikan pribumi hanya mengenal satu jenis pendidikan yang biasa disebut lembaga pengajaran asli yaitu sekolah-sekolah agama Islam dalam berbagai bentuknya seperti langgar, surau atau pesantren. Di tempat tersebut murid-murid dilatih untuk belajar membaca Al-Qur’an dan mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam.[1] Kemudian pada awal abad XX, melalui peraturan pemerintah tahun 1818, maka pemerintah Belanda menetapkan bahwa orang-orang pribumi diperbolehkan masuk sekolah-sekolah Belanda. Pemerintah juga akan menetapkan peraturan-peraturan tata tertib yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.[2] Baca lebih lanjut

Kerja Magang dan Pelanggengan Kekuasaan Kroni

Bupati Garoet Raden Adipati Ario Wiratanoedatar VIII bersama Wedono dan Pengiringnya Tahun 1901 (Koleksi: www. kitlv.nl)

Melihat masa lalu seperti melihat cermin yang terkadang memantulkan gambar-gambar persamaan dengan masa kini. Permasalahan sosial pada masa lalu masih juga terlihat pada masa kini dan tidak berakhir. Mata pencaharian atau pekerjaan menjadi masalah yang cukup penting pada masa kolonial karena berkaitan erat dengan stratifikasi sosial pada masa itu. Masyarakat Kolonial terutama Jawa telah terstratifikasikan menjadi stratifikasi kolonial dan stratifikasi tradisional kerajaan. Stratifikasi ini membawa implikasi terhadap pembatasan-pembatasan dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bagi masyarakat terutama masyarakat pribumi yang bukan dari golongan priyayi. Baca lebih lanjut

Mobil Masa Kolonial Belanda, Sebuah Pameran Kekuasaan

Masyarakat Takjub Melihat Mobil di Solo 1922 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Jaman modernisasi di Hindia Belanda mulai berlangsung pada akhir abad ke-19 dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, perkembangan sekolah-sekolah modern Barat, liberalisasi perekonomian yang meningkatkan arus migrasi penduduk asing dan arus investasi modal asing, pesatnya industrialisasi, pesatnya pembangunan infrastruktur dan sistem komunikasi modern, pembaharuan sistem administrasi dan birokrasi pemerintah Kolonial Belanda, modernisasi kehidupan masyarakat perkotaan, serta terjadinya differensiasi dan spesialisasi lapangan pekerjaan.

Mobil sebagai bentuk modernisasi masyarakat Hindia Belanda mulai masuk pada pada akhir abad ke-19. Mobil merek Benz menjadi mobil pertama yang dimiliki oleh pihak Kerajaan Kasunanan Surakarta, dan mobil tersebut adalah mobil pesanan pribadi Pakubuwono X pada tahun 1894. Tahun 1907 salah seorang keluarga raja lain di Solo, Kanjeng Raden Sosrodiningrat membeli sebuah mobil merk Daimler. Mobil merk ini memang tergolong mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang berkedudukan tinggi. Mobil ini bekerja dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Pembelian mobil Daimler tersebut oleh keluarga Sunan Solo, disebabkan karena Sunan tidak mau kalah gengsi dengan Gubernur Jenderal. Sebelumnya, ketika Gubernur masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Sunan Solo memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama, Kanjeng Raden Sosrodiningrat memesan mobil Daimlernya lewat Prottel & Co.
Baca lebih lanjut

Penjual Sate Pada Masa Kolonial Belanda

Model penjual sate di Jawa Timur 1919 (Koleksi: Tropen Museum Belanda TMnr_2441-1)

Membicarakan kuliner Nusantara tak akan pernah habis karena bumi Nusantara ini begitu kaya akan budaya kuliner. Makanan dari berbagai hasil bumi Nusantara tersaji dalam berbagai aneka rasa, bentuk dan berbagai cara penyajian yang berbeda serta kekhasan masing-masing daerah. Budaya kuliner ini juga memiliki sejarah yang panjang.

Menggambarkan aktifitas masyarakat dalam mengolah kuliner pada jaman kolonial memang agak sulit, terutama data-data yang berbentuk tulisan. Beberapa sumber foto masa kolonial dapat dijadikan gambaran bagaimana makanan terutama Sate telah menjadi kuliner yang digemari. Sate merupakan kuliner asli Indonesia yang terdiri dari daging yang ditusukkan ke sebuah tusukan dari bambu dan dilengkapi dengan bumbu sambal kacang maupun sambal kecap. Biasanya juga dimakan bersama dengan nasi ataupun lontong.

Seperti diungkapkan oleh Jennifer Brennan (1988) bahwa walaupun Thailand dan Malaysia mengklaim sate sebagai budaya kuliner mereka tetapi sate merupakan produk kuliner asli yang berasal dari Jawa. Sate berkembang bersamaan dengan masuknya kuliner kebab yang berasal dari India yang dibawa masuk oleh pedagang muslim pada abad ke-19. Hal ini memungkinkan penggunaan daging kambing sebagai bahan pengolahan sate selain daging ayam, anjing dan sapi.

Pada masa kolonial Belanda sate diperjualbelikan dipinggir-pinggir jalan dan pasar. Foto tahun 1870 menggambarkan pedagang sate yang sedang melayani pembeli di Klaten. Pikulannya membawa lontong, bumbu sate dan pedagang tersebut sedang membakar sate.

Pedagang sate di Klanten 1870 (Koleksi: Tropen Museum Belanda TMnr_60027242)

Foto lain pada masa kolonial menggambarkan pedagang sate wanita yang berjualan di sebuah pasar di Surabaya pada tahun 1930. Pedagang tersebut sedang membakar beberapa tusuk sate, didepannya terdapat peralatan dan bumbu pelengkap sate.

Penjual Sate di sebuah pasar Surabaya 1930 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pedagang lain yang sedang menjajakan sate dengan pikulan adalah foto yang diambil di sebuah jalanan kota Jogjakarta tahun 1939. Sate dibakar diatas sebuah tungku dan di sisi lain adalah tempat menaruh bumbu dan biasanya nasi ataupun lontong.

Penjual sate di Jogjakarta 1939 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Memang sate hingga sekarang masih menjadi makanan favorit masyarakat dan telah berkembang sedemikian rupa baik bahan, bumbu, maupun penyajiannya.

———————————————————————–000000000000000000000000———————————————————-