Kuliner yang setiap hari kita santap dan bercitarasa tinggi baik di rumah maupun di berbagai tempat makan, mungkin secara tidak sadar kita tidak memikirkannya dari mana kuliner tersebut diolah. Kuliner-kuliner tersebut diolah disebuah dapur dengan berbagai tehnik memasak, seni dan perpaduan budaya. Mungkin dapur milik kita bukan sesuatu yang istimewa, tetapi bagaimana bila dapur tersebut adalah dapur Istana Kerajaan yang tentunya memiliki berbagai cerita menarik. Dalam tulisan ini akan sedikit dibahas mengenai dapur Istana Keraton Surakarta terutama dapur (pawon) yang digunakan okeh Paku Buwana X dan Paku Buwana X. Tulisan ini bukan sebuah tulisan yang lengkap tetapi mungkin hanya serpihan-serpihan sejarah keberadaan dapur tersebut dan yang menurut saya patut diceritakan. Baca lebih lanjut
Tag Archives: kuliner
Warung Hik atau Angkringan: Mengenang Masa Lampau
Mari sejenak kita bernostalgia, menghadirkan kembali kenangan-kenangan akan masa-masa silam yang mungkin remeh tetapi memiliki sebuah keunikan. Bukankah keunikan itu sering dicari dan ingin dimiliki oleh banyak orang karena ia memang berbeda dari kebanyakan yang ada. Bukan sesuatu yang umum yang didasarkan pada selera-selera yang dibangun oleh industri makanan besar yang menginginkan sebuah keseragaman modernitas, tetapi sebuah selera yang memang telah berakar dari kebudayaan kuliner lokal. Baca lebih lanjut
Juru Masak (Koki) Pribumi dan Rijsttafel Masa Kolonial
Kuliner yang kita miliki memiliki berbagai ragam jenis dan sangat kaya itu jelas dan tidak bisa dipungkiri lagi. Penggunaan rempah-rempah untuk bumbu makanan membuat kuliner kita disejajarkan dengan kuliner Prancis yang sangat haute causine. Dalam pandangan Eropa bahwa syarat haute causine umumnya tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahan-bahan makanan yang dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan. Selain itu, hidangan pribumi identik dan sarat penggunaan bahan rempah-rempah yang tentunya eksotis di mata mereka. Baca lebih lanjut
Penjual Sate Pada Masa Kolonial Belanda
Membicarakan kuliner Nusantara tak akan pernah habis karena bumi Nusantara ini begitu kaya akan budaya kuliner. Makanan dari berbagai hasil bumi Nusantara tersaji dalam berbagai aneka rasa, bentuk dan berbagai cara penyajian yang berbeda serta kekhasan masing-masing daerah. Budaya kuliner ini juga memiliki sejarah yang panjang.
Menggambarkan aktifitas masyarakat dalam mengolah kuliner pada jaman kolonial memang agak sulit, terutama data-data yang berbentuk tulisan. Beberapa sumber foto masa kolonial dapat dijadikan gambaran bagaimana makanan terutama Sate telah menjadi kuliner yang digemari. Sate merupakan kuliner asli Indonesia yang terdiri dari daging yang ditusukkan ke sebuah tusukan dari bambu dan dilengkapi dengan bumbu sambal kacang maupun sambal kecap. Biasanya juga dimakan bersama dengan nasi ataupun lontong.
Seperti diungkapkan oleh Jennifer Brennan (1988) bahwa walaupun Thailand dan Malaysia mengklaim sate sebagai budaya kuliner mereka tetapi sate merupakan produk kuliner asli yang berasal dari Jawa. Sate berkembang bersamaan dengan masuknya kuliner kebab yang berasal dari India yang dibawa masuk oleh pedagang muslim pada abad ke-19. Hal ini memungkinkan penggunaan daging kambing sebagai bahan pengolahan sate selain daging ayam, anjing dan sapi.
Pada masa kolonial Belanda sate diperjualbelikan dipinggir-pinggir jalan dan pasar. Foto tahun 1870 menggambarkan pedagang sate yang sedang melayani pembeli di Klaten. Pikulannya membawa lontong, bumbu sate dan pedagang tersebut sedang membakar sate.
Foto lain pada masa kolonial menggambarkan pedagang sate wanita yang berjualan di sebuah pasar di Surabaya pada tahun 1930. Pedagang tersebut sedang membakar beberapa tusuk sate, didepannya terdapat peralatan dan bumbu pelengkap sate.
Pedagang lain yang sedang menjajakan sate dengan pikulan adalah foto yang diambil di sebuah jalanan kota Jogjakarta tahun 1939. Sate dibakar diatas sebuah tungku dan di sisi lain adalah tempat menaruh bumbu dan biasanya nasi ataupun lontong.
Memang sate hingga sekarang masih menjadi makanan favorit masyarakat dan telah berkembang sedemikian rupa baik bahan, bumbu, maupun penyajiannya.
———————————————————————–000000000000000000000000———————————————————-
Penjual Soto Masa Kolonial
Kadang-kadang setiap pagi, ketika mengantarkan istriku bekerja aku mampir di sebuah warung soto di daerah Sumber, Solo untuk sarapan pagi. Kenapa juga aku memilih warung soto, padahal warung makan lain cukup banyak. Alasannya cukup sederhana, karena warung soto tersebut unik bagiku. Masih sangat sederhana, dengan pikulan untuk menaruh kuah soto dan berbagai peralatannya. Kuah sotonya di taruh dalam sebuah kuali besar yang dipanaskan dengan tungku berbahan bakar arang. Rasa kuah soto ini menurutku berbeda dengan kuah soto yang dipanaskan di dalam panci logam dan ditaruh di atas kompor gas maupun kompor minyak. Baca lebih lanjut