Rekest C.S.I tentang Inlandsche Verponding pada Gubernur Generaal

Kediaman Gubernur Jendral Batavia (Foto Koleksi: Kraton Kasunanan Surakarta)

Kediaman Gubernur Jendral Batavia (Foto Koleksi: Kraton Kasunanan Surakarta)

Tahun 1920-an merupakan tahun-tahun dimana kesulitan ekonomi mulai melanda Hindia Belanda setelah booming industri gula pada tahun-tahun sebelumnya. Penurunan pendapatan pemerintah kolonial Belanda membuat Gubernur Jendral Dirk Fock memberlakukan kebijakan ekonomi yang ketat dengan melakukan pemangkasan terhadap pengeluaran pemerintah dan menaikkan berbagai pajak salah satunya adalah dengan memberlakukan “Inlandsche Verponding”. Pajak baru ini ditentang oleh berbagai elemen kaum pergerakan karena dianggap semakin membuat rakyat terpuruk. Di bawah adalah rekest (petisi) dari Centraal Sarekat Islam yang berisi penolakan terhadap diberlakukannya pajak baru tersebut. Baca lebih lanjut

Komunisme dan Pan-Islamisme: Pidato Tan Malaka pada Kongres Keempat Komunis Internasional 12 November 1922

Tan Malaka Bersama Anggota Komintern pada Kongres Komintern ke-4 tahun 1922

Tan Malaka Bersama Anggota Komintern pada Kongres Komintern ke-4 tahun 1922

Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh Tan Malaka pada Kongres Keempat Komunis Internasional di Moscow 12 November 1922. Mengambil masalah dengan tesis yang disusun oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka berpendapat untuk pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) terpilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Timur oleh pemerintah kolonial. Setelah proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, ia kembali ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Dia menjadi pemimpin dari Partai Murba (Partai Proletar), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengatur oposisi kelas pekerja terhadap pemerintahan Soekarno. Pada Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi. Baca lebih lanjut

Sekolah Sarekat Islam Semarang: Pendidikan Yang Humanis

Where is Revolutions black white

Tan Malaka sebagai penggagas pendirian sekolah Sarekat Islam Semarang dan Sekolah Sarekat Islam Bandung memberikan penjelasan mengenai sistem pengajaran yang akan dilaksanakan bagi sekolah ini. Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dengan didirikannya sekolah Sarekat Islam Semarang ini:

  1. Memberi coekoep banjak djalan (kepada para moerid) oentoek mendapatkan mata pencaharian di dunia jang kapitalistis (berhitoeng, menoelis, ilmoe boemi, bahasa Belanda, Melaju, Djawa).
  2. Memberi hak kepada para moerid oentoek mengikoeti kegemaran (hobi) mereka dengan membentoek perkoempoelan-perkoempoelan.
  3. Mengarahkan perhatian para moerid pada kewadjiban mereka jang akan datang terhadap djutaan keloearga Pak Kromo.[1]

Baca lebih lanjut

PERTARUNGAN ELIT: SURAKARTA MASA PERGERAKAN NASIONAL

Soesoehoenan van Soerakarta, Pakoe Boewono X dan Ratoe Mas 1915 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

A. Munculnya Elit Modern dan Pergerakan Nasional

Pergerakan nasional sebagai fenomena historis adalah hasil dari perkembangan berbagai faktor seperti faktor ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan dengan berbagai interrelasinya. Sehingga pergerakan nasional menjadi sebuah fenomena yang kompleks dan multidimensional, maka pemakaian pendekatan multidisiplinerlah yang memungkinkan untuk menerangkan berbagai segi dari pergerakan nasional. Oleh karena itu, pergerakan nasional dapat dianggap sebagai gerakan ekonomi, sosial, politik, ataupun kebudayaan. Hal itu terwujud dengan jelas pada berbagai organisasi nasional dan secara eksplisit menentukan tujuan-tujuannya yang menjadi orientasi setiap aktivitas mereka.[1]

Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah gerakan modern di Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial, budaya dan politik yang terjadi pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melakukan berbagai perubahanan mendasar bagi terciptanya ide-ide dan pola-pola gerakan modern bagi masyarakat Hindia Belanda melalui serangkaian kebijakkan politis. Kebijakkan pemerintah kolonial yang sangat terkenal di dalam  memberikan perubahan mobilitas sosial masyarakat adalah kebijakkan politik etis[2] dengan pendidikan sebagai salah satu mata pisaunya. Baca lebih lanjut

SI Semarang dan Onderwijs (1921)

Sekolah Lagere School di Jawa 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan.
Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Sarekat Islam Semarang menjadi model pergerakan yang memberikan pendidikan kepada masyarakat yang berbeda dari model pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Model pendidikan yang dirancang oleh Tan Malaka melalui brosur kecilnya pada tahun 1921 menunjukan pendidikan kerakyatan, pendidikan yang mendekatakan murid terhadap realitas sosial masyarakatnya. Pendidikan yang akan membawa murid-murid sekolah Sarekat Islam Semarang menjadi pemimpin-pemimpin pergerakan melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Tulisan Tan Malaka mengenai sekolah Sarekat Islam Semarang dan pendirian sekolah Sarekat Islam ini, mengharuskan pemerintah kolonial Belanda untuk menangkap dan membuang Tan Malaka ke luar Hindia Belanda. Tan Malaka dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan bagi kekuasaan kolonial Belanda. Brosur singkat ini member gambaran bagaimana sekolah Sarekat Islam Semarang didirikan dan dijalankan. Baca lebih lanjut

Polemik Djawi Hisworo, Abangan Versus Islam (Bagian 1)

Gambar Dewa Dalam Penanggalan Wuku

Perkembangan politik di Surakarta memang menjadi suatu jalur pergerakan nasional yang dinamis tetapi pada sisi yang lain gerakan-gerakan ini juga dilaksanakan melalui gerakan budaya. Kota Surakarta merupakan acuan dari lahir dan berkembangnya pergerakan nasional tidak hanya secara politik tetapi juga menjadi barometer perkembangan budaya Jawa. Pada masa pergerakan nasional terutama pada tahun-tahun awal pergerakan berbagai gerakan budaya muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan nasional sendiri. Hal ini menjadi wajar karena terjadi stagnasi dari proses perkembangan budaya Jawa. Perkembangan bahasa sebagai alat pergaulan pada masa pergerakan telah beralih kepada bahasa Melayu sebagai lingua franca, tidak heran ketika pada tahun-tahun 1918 muncul gerakan nasionalisme Jawa yang diusung oleh kekuatan Keraton Surakarta.

Menurut Benedict R. Anderson, Jawa terutama kerajaan-kerajaannya telah mengalami dua krisis yang telah disangga bersama-sama oleh orang Jawa dan rakyat-rakyat terjajah lainnya. Pertama adalah krisis politiko-kultural dimana sejak permulaan abad ke-17 para penguasa Jawa benar-benar telah mengalami serangkaian kesalahan, kehinaan dan bencana yang hampir-hampir tak kunjung henti. Sejak akhir abad ke-18 raja-raja Pakubuwono, Hamengkubuwono dan Mangkunegoro, semuanya telah menjadi raja-raja kecil yang “berkuasa” dengan perkenan belanja dan bertahan hidup secara ekonomi demi subsidi Belanda. Ketidakmampuan golongan elit Jawa membebaskan ketertidasan rakyat dari belenggu penjajahan diungkapan secara gamblang oleh pujangga Keraton Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha yaitu:
“Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Parandene tan dadi, Paliyasing kalabendu….”
(Rajanya raja utama, Perdana menterinya tegak dalam kebenaran, Bupatinya konstan hati, Pembantunya sempurna, Namun tak seorang pun tetap tinggal, Zaman malapetaka) Baca lebih lanjut