DAPUR (PAWON) KERATON SURAKARTA MASA KOLONIAL

Menu makan malam di Keraton Surakarta pada kesempatan ulang tahun Susuhunan pada 18 Juli 1911 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kuliner yang setiap hari kita santap dan bercitarasa tinggi baik di rumah maupun di berbagai tempat makan, mungkin secara tidak sadar kita tidak memikirkannya dari mana kuliner tersebut diolah. Kuliner-kuliner tersebut diolah disebuah dapur dengan berbagai tehnik memasak, seni dan perpaduan budaya. Mungkin dapur milik kita bukan sesuatu yang istimewa, tetapi bagaimana bila dapur tersebut adalah dapur Istana Kerajaan yang tentunya memiliki berbagai cerita menarik. Dalam tulisan ini akan sedikit dibahas mengenai dapur Istana Keraton Surakarta terutama dapur (pawon) yang digunakan okeh Paku Buwana X dan Paku Buwana X. Tulisan ini bukan sebuah tulisan yang lengkap tetapi mungkin hanya serpihan-serpihan sejarah keberadaan dapur tersebut dan yang menurut saya patut diceritakan.

Perkembangan khasanah kuliner di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persentuhan dengan berbagai kebudayaan. Masyarakat berada di antara dua kondisi, mempertahankan budaya asli atau menerima unsur baru lalu menyesuaikannya ke dalam kebudayaannya sendiri. Dalam hal ini local genius memegang peranan amat penting. Begitu pula dengan kuliner yang berkembang di Keraton Surakarta. Keraton Surakarta sebagai unit masyarakat masih diakui luas atas kebudayaan yang diciptakannya hingga kini, mulai dari seni, startifikasi masyarakat di lingkungan keraton sampai dengan pernik-pernik khasanah makanan atau kuliner yang berkembang dilingkungan keraton sendiri.

Kuliner di Keraton Surakarta sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kebiasaan pola konsumsi maupun yang berhubungan dengan adat dan tata upacara yang berada dilingkungan Keraton Surakarta sendiri. Oleh karena itu perkembangan kuliner di dalam Keraton Surakarta ada yang bersifat dinamis maupun yang bersifat statis. Perkembangan kuliner di dalam Keraton Surakarta yang bersifat dinamis berkaitan erat dengan pola konsumsi dari para anggota masyarakat Keraton Surakarta sendiri, sedangkan yang bersifat statis merupakan kuliner sebagai pendukung berbagai upacara adat yang ada di lingkungan Keraton Surakarta.

Berbicara mengenai kuliner di Keraton Surakarta, maka awal dari perkembangan kuliner di Keraton Surakarta dimulai pada masa Paku Buwana II, karena pada masa Paku Buwana I, pemerintahannya hanya berlangsung singkat sehingga tidak dapat diketahui secara pasti kuliner-kuliner yang berkembang pada masa tersebut. Sedangkan pada masa Paku Buwana II ketika terjadi perpindahan Keraton Surakarta disebutkan beberapa peralatan dapur yang dibawa. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa Paku Buwana II telah ada teknologi dan cara masak-memasak untuk hidangan keluarga Keraton dan abdi dalemnya.

Kegiatan masak-memasak dilingkungan keraton dilakukan di dapur (pawon) dan berada diwilayah Keputren. Kegiatan memasak dilingkungan keraton ini berada dalam sebuah lembaga yang diberi nama Lembaga Keputren yang dikepalai oleh keluarga raja bergelar Gusti Kanjeng Ratu (G.K.R). Dapur-dapur yang berada di bawah lembaga keputren ini terdiri atas dapur Gondorasan, dapur Sekul Langgen, dapur Utama (Koken), dan Pawon Ageng yang berada di dalam Keputren. Dapur Gondorasan merupakan dapur yang berfungsi untuk memasak berbagai keperluan sesaji dan wilujengan untuk keperluan penyelenggaraan upacara-upacara adat yang berlangsung di lingkungan Keraton Surakarta baik upacara-upacara adat kecil seperti ritual pemberian sesaji setiap hari di lingkungan Keraton maupun upacara-upacara adat Keraton yang besar. Dapur ini dikepalai oleh abdi dalem yang bergelar Lurah Gondorasan, dan membawahi beberapa abdi dalem yang bertugas membuat sesaji dan wilujengan. Dapur ini nerupakan dapur tertua dan hingga kini keberadaannya masih dipertahankan oleh Keraton Surakarta.

Dapur Sekul Langgen merupakan dapur yang dipergunakan untuk memasak makanan bagi cadhong (pajurit kerajaan) pada masa dahulu. Hidangan yang dimasak di dapur ini terdiri dari nasi dan berbagai macam sayur-mayur sederhana seperti sayur bening yang terdiri dari bayam dan dimasak mengunakan kuah bening, sayur terong, dan juga sambel. Lauk pauk lainnya biasanya menunggu hidangan Raja yang tidak habis dimakan. Hidangan Raja ini biasanya akan dibagikan kepada abdi-abdi dalem yang berada di dalam Keraton tidak terkecuali para prajuritnya. Karena Keraton Surakarta sudah tidak memiliki prajurit yang cukup besar seperti masa lampau maka dapur Sekul Langgen sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak bagi para prajurit. Dapur ini saat ini telah digabung dengan dapur Gondorasan.

Aktivitas memasak untuk keperluan hidangan raja dilakukan di dapur khusus. Pada masa PB X karena aktivitas makan yang teratur di dalam kraton dan banyaknya kegemaran kuliner dari PB X ditambah dengan berbagai acara penyambutan tamu-tamu maka PB X menyediakan empat buah pawon khusus untuk memasak yaitu pawon Ageng untuk memasak segala masakan besar (makanan pokok), pawon Nyirosuman khusus menyediakan keleman atau makanan kecil, pawon Drowesono tempat mengolah bermacam-macam minuman seperti limun, air soda atau banyu londho, whiskey, anggur, bir, dan sebagainya. Pawon terakhir adalah pawon kridowoyo (yang berarti tempat mengolah air keruh) yaitu tempat pengolahan susu yang berasal dari peternakan sapi.

Kebiasaan PB X mengundang tamu-tamu untuk bercengkrama membuat pawon Nyirosuman tidak pernah berhenti dalam menyediakan keleman bagi para tamu-tamu tersebut. Ada yang menarik dalam diri PB X yang dianggap gemar dengan budaya Eropa tetapi dalam selera makanan PB X sangat mengedepankan selera Jawa baik dalam menyambut tamu-tamu lokal maupun orang-orang Eropa. Hidangan yang disajikan lebih banyak hidangan Jawa, hidangan Eropa disisihkan bahkan dibuat variasi baru seperti pis roti, roti kismis, roti bakar, roti mentega, ayam betutu (yang diadopsi dari koki-koki Belanda). Minuman yang dihidangkan pun disesuikan dengan acara-acara khusus, seperti minuman Eropa yang dihidangkan pada acara-acara tos ala Eropa dan perjamuan dengan orang-orang Eropa. Kegemaran lain yang disediakan pada saat jamuan dengan tamu-tamu adalah rokok, cerutu dan biasanya pada saat bersantai.

Pada masa PB X pesta yang diselenggarakan di kedhaton tampak lebih megah karena lantai pendhapa sampai ke Sasana Handrawina telah diganti dengan marmer putih. Pesta itu biasa diisi dengan acara dansa dan dinner. Masakan yang dihidangkan adalah masakan barat dan dikalangan tamu yang sering diundang pesta di keraton selalu terkesan minuman yang mereka sebut Ratu Mas’drank. Ketika Gubernur Jenderal de Jonge pada tahun 1933 berkunjung ke keraton Surakarta, Sinuwun menerimanya dengan pesta dan dinner. Delapan puluh persen tamu undangan adalah pembesar Belanda dari kedua kerajaan serta Jawa Tengah dan undangan untuk pesta yang diselenggarakan secara besar-besaran itu ditulis dalam bahasa Belanda. Secara implisit, tampaknya di sini terkandung muatan politis dari kalangan elit keraton yang mencoba menjalin hubungan akrab dengan orang Eropa terutama Belanda sebagai penguasa.

Perubahan acara makan dan perjamuan makan serta selera makanan di kraton Kasunanan terjadi pada masa PB XI berkuasa. PB XI menangani sendiri semua dapur yang ada di kraton dengan mengubah kawasan keputren yang menjadi tempat aktivitas memasak menjadi dapur pribadi PB XI. Pawon Ageng, pawon Nyirosuman, pawon Drowesono, pawon Kridowoyo dirubah menjadi pawon modern dengan sebutan pawon Pakubuwanan. Pawon Pakubuwanan ini terdiri dari dua Pawon yaitu pawon Jawa dan pawon Modern. Pawon Jawa khusus menyediakan makanan-makanan Jawa sedangkan Pawon Modern khusus menyediakan makanan-makanan Eropa. Pawon yang tidak dirubah adalah Pawon Gondorasan yang khusus membuat sesaji dan wilujengan bagi acara-acara seremonial Kraton.

Perubahan yang dilakukan oleh PB XI dengan menyatukan pawon-pawon pada masa PB X membawa perubahan bagi abdi dalem yang dahulu bekerja di pawon-pawon tersebut. Sebagian abdi dalem diberhentikan dari pekerjaan mereka sebagai abdi dalem pawon dan para abdi dalem ini memilih untuk berjualan di keputren berbagai makanan yang dahulu biasanya digemari oleh PB X dan juga menyediakan makanan bagi keluarga (sentana dalem), pegawai birokrasi dan para abdi dalem lain yang masih memiliki selera yang sama dengan PB X.

Pawon Pakubuwanan bentukan PB XI ini, diisi oleh kerabat PB XI sendiri untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, karena situasi politik di dalam kraton maupun di luar kraton yang tidak kondusif akibat dari  perseteruan keluarga kraton sendiri maupun tekanan dari pemerintah jajahan Jepang. Karena alasan inilah, sehingga PB XI mempercayakan pawon Pakubuwanan kepada kerabat putri (sentana dalem) dan abdi-abdi dalem kepercayaan PB XI dan langsung diawasi sendiri oleh PB XI.

Perubahan ini membawa dampak bahwa menyusutnya pawon dilingkungan Keraton Surakarta membuat berbagai khasanah kuliner keraton sulit terlacak selain belum ditemukannya catatan-catatan mengenai menu hidangan dan resep makanan yang berkembang pada saat itu dilingkungan keraton. Resep makanan hanya dipelajari secara turun-temurun dari keluarga yang pernah mengabdi di lingkungan pawon Keraton Surakarta.

————-00000—————–

Note: Thanks Buat Ardy Baskoro atas beberapa datanya….:)

1 comments on “DAPUR (PAWON) KERATON SURAKARTA MASA KOLONIAL

  1. Ping-balik: Pawon (Dapur) Keraton Surakarta Masa Kolonial | BALTYRA

Tinggalkan komentar