Slametan Tanda Mata Bagi Tuhan Yang Maha Esa

Kegiatan Slametan keluarga di Surabaya 1900 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Ucapan rasa syukur dapat dilakukan melalui banyak cara, baik secara personal maupun dilakukan secara bersama-sama. Kebudayaan kita telah mengajarkan begitu banyak kegiatan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan sejak masa dahulu. Dari mempersembahkan berbagai hasil ternak dan hasil bumi hingga melakukan berbagai ritual pribadi yang berhubungan dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Raja-raja masa dahulu sering melakukan persembahan berupa hewan sapi, kerbau dalam jumlah yang cukup besar sebagai persembahan baik kepada leluhur maupun Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan petani dan nelayan melakukan ritual persembahan dengan beraneka ragam hasil bumi sebagai rasa syukur atas hasil panen mereka kepada Leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dapat dikatakan bahwa ucapan rasa syukur dengan berbagai acara ritualnya bukan monopoli golongan elit saja tetapi juga dilakukan oleh rakyat secara umum. Baca lebih lanjut

Bambu Sebagai Aktivitas Masyarakat

Pedagang Keliling Kerajinan Bambu di Tjiandjoer Tahun 1925 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Bambu adalah bahan bangunan yang paling serbaguna yang dapat dibayangkan. Penduduk Jawa dan lainnya di kepulauan Nusantara melakukan mukjizat dengan itu. Sebagian besar rumah pada jaman dahulu menggunakan kerangka dari bambu terutama di Pulau Jawa.Bambu  juga digunakan untuk membuat aneka kerajinan dan alat untuk menyimpan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari. Baca lebih lanjut

Mengenang Lapo Tuak dan Penjaja Tuak Keliling

Penjual Tuak Keliling di Jawa Tahun 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Tuak atau juga disebut arak di Nusantara adalah sejenis minuman yang merupakan hasil fermentasi dari bahan minuman/buah yang mengandung gula. Tuak sering juga disebuat pula arak adalah produk yang mengandung alkohol. Bahan baku yang biasa dipakai adalah: beras atau cairan yang diambil dari tanaman seperti nira kelapa atau aren, legen dari pohon siwalan atau tal, atau sumber lain.

Tuak telah dikenal cukup lama dan menjadi minuman yang dijajakan secara bebas sejak dulu oleh masyarakat di berbagai wilayah di Nusantara. Masyarakat di berbagai tempat di Nusantara membangun tempat penjualan dan warung tuak atau yang disebut juga Lapo Tuak.

Biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.

Penjual Tuak di pasar Leneke Lombok Timur tahun 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Tidak hanya warung tuak sebagai tempat minum bersama, tuak atau arak dijual berkeliling oleh pedagang di Jawa, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali dan diberbagai tempat di Nusantara. Beberapa foto pada masa jaman kolonial Belanda menunjukkan bahwa tuak dijual berkeliling oleh para pedagang dengan memakai bambu sebagai tempat tuak dan dijinjing secara sederhana. Masyarakat pembeli meminum tuak tersebut di jalan. Tuak sejak dahulu merupakan minuman sebagai penghangat badan sehingga banyak digemari.

Keberadaan warung-warung tuak dan penjaja tuak keliling pada masa kini mungkin hanya tinggal kenangan karena selain kalah bersaing dengan minuman beralkohol impor juga adanya pelarangan dari masyarakat dan pihak pemerintah untuk secara bebas memperjualbelikan minuman beralkohol. Hal ini menambah daftar panjang budaya Nusantara yang musnah, tidak hanya penjaja keliling tuak kemungkinan teknologi fermentasi tradisional juga akan turut musnah.

———————-0000000000000——————-

Sejarah Sabung Ayam Di Nusantara Bukan Sekedar Permainan Semata

Sabung Ayam di Bali 1915 (Koleksi http://www.kitlv.nl)

Adu Ayam Jago atau biasa disebut sabung ayam merupakan permainan yang telah dilakukan masyarakat di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian ayam jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan serta terbuat dari logam yang runcing. Permainan Sabung Ayam di Nusantara ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik.

Permainan Sabung Ayam di pulau Jawa berasal dari folklore (cerita rakyat) Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang oleh raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang terbuang akibat iri dengki sang selir. Baca lebih lanjut