Kuli, Buruh Dan Penulisan Sejarah Mereka

Kuli di Pelabuhan Belawan Medan Turun Dari Kapal Jacob sebagian Besar adalah Kuli dari China (Koleksi: TropenMuseum TMnr_10001445)

Kuli di Pelabuhan Belawan Medan Turun Dari Kapal Jacob sebagian Besar adalah Kuli dari China (Koleksi: TropenMuseum TMnr_10001445)

Ada yang menarik ketika membaca buku John Ingleson “Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial” sebuah kumpulan essay yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu. John Ingleson dalam Essay pertamanya yang berjudul “Kehidupan dan Kondisi Kerja: Buruh Pelabuhan antara 1910-1920-an”, alih-alih mencoba untuk bersikap netral dalam memandang kehidupan mereka dan bagaimana mereka mempertahankan diri dari guncangan ekonomi yang melanda Hindia Belanda, Ia seakan-akan bahkan mendorong untuk menuliskan kehidupan dan peran mereka lebih banyak lagi. Baca lebih lanjut

Perkara Bom H. M. Misbach di Boeang?

Surat Kabar Neratja 17 Maret 1924 (Koleksi: Perpustakaan Sana Pustaka Kraton Surakarta)

Dalam beberapa soerat kabar poetih soedah dikabarkan, bahwa perkaranja Hadji Misbach tidak dapat diperiksa dalam landraad, karena tiada boekti-boektinja  jang perkaranja haroes dibawa ke landraad. Sekarang orang soedah dapat mengatakan bahwa Hadji Misbach tiada boektinja, hingga hari ini masih sadja ditahan boei. Inilah jang tidak mengertikan tingkah lakoenja wakil pemerintah. Apakah ini djoega disetoedjoei oleh Bogor? Soeatoe pertanjaan mesti ada boentoetnja.

Masih sadja orang beloem poeas hatinja dengan siksaan ini, jaitoe menahan orang (manoesia) jang tidak bersala. Sekarang ditjarikan djalan lain, soepaja Hadji Misbach dapat diboeang dari tanah kelahirannja.Ini tidak dengan alasan lain, melainkan pemerintah di Bogor ada koeasa memboeang orang dari soeatoe tempat ketempat lain atau dari tanah Hindia ke negeri lain, jang berdasarkan soeatoe artikel dalam regeeering reglement. Orang jang koeasa memang boleh sadja mendjalankan kekoeasaannja. Ini soedah semesthinja. Tetapi oerang tentoenja djoega merasa bahwa kekoesaan itu diberikan kepada jang hanja dilakoekan atau terpakai djika ada sebab-sebabnja. Baca lebih lanjut

“Lezing” Sebuah Tulisan RA Siti Soendari Mengenai Organisasi

Wanita-wanita Jawa pada Tahun 1910 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Siti Soendari aktif dalam Organisasi Inlandsche Journalistenbond dan Redaktur pada majalah wanita Wanitosworo. Ini adalah tulisannya yang dimuat di Doenia Bergerak No. 2 Tahun 1914.

“Oleh karena banyak saudara-saudara yang kepengin tahu lezingnya Raden Ajoe Siti Soendari, Redactie tijdschrijft Wanito Sworo, Secretaresse Budi Wasito, Lid Journalistenbond, guru sekolah anak perempuan di Pacitan, yang di baca oleh Pengarang Sarotomo pada waktu algemeene vergadering I.J.B. menjadi perlu hal itu kami siarkan di sini, demikianlah bunjinya”:

Maaflah tuan yang berhadlir di sini! Saja Raden ayu Siti Soendari guru sekolah anak perempuan di kota Pacitan, sudah antara lama mengandung kemasgulan di dalam hati, yang hidupnya orang-orang kecil, sangat tidak dihargakan oleh bangsa tengahan, istimewa pula bangsawan-bangsawan. Halnya kita orang dapat berhidup senang ini, lantaran dari daya keringatnya orang-orang kecil. Jikalau kita tidak dapat pertolongannya orang kecil, kita tentu terpaksa bekerja sendiri dengan mandi keringat. Menjadi hilanglah kebesaran dan kemuliaan kita. Oleh karena itu tidak pantas sekali orang-orang kecil disia-sia atau dibuat semau-maunya. Hal itu saya puji kepada Allah mudah-mudahan lekas dinyahkan dari luar bumi adanya. Adapun sebabnya saya menaruh kemasgulan di dalam hati itu, karena bakal keturunan saya kelak, tentu banyak yang menjadi orang kecil, tertimbang yang jadi bangsa tengahan atau bangsawan. Baca lebih lanjut

Jawa Dalam Politik Candu (Opium) Kolonial Belanda

Para Pemakai Opium di Jawa Tahun 1875 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kenapa candu menjadi perhatian yang besar pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad 19 dan awal abad 20? Tak lain adalah keuntungan yang di dapatkan dari aktifitas perdagangan ini. Candu memang tidak ditanam di Hindia Belanda melainkan barang yang masuk ke hindia Belanda khususbya Jawa melalui jalur perdagangan dan telah digunakan oleh masyarakat Jawa sejak dahulu sebagai pengobatan berkaitan dengan kesegaran tubuh dan sebagai obat lelah. Candu awalnya dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai bahan campuran minuman (teh dan kopi), ada juga yang mengkonsumsi candu dengan cara dimakan (Jawa: mangan, nyeret) atau dirokok dengan menggunakan pipa (Jawa:Ngudud). Berbagai literatur Jawa seperti Serat Suluk Gatolotjo dan Surat Kabar Djawi Hiswara telah menuliskan adanya penggunaan candu yang berbentuk lintingan rokok sebagai bagian dari pemberian sajen kepada nenek moyang. Baca lebih lanjut

Mengenang Lapo Tuak dan Penjaja Tuak Keliling

Penjual Tuak Keliling di Jawa Tahun 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Tuak atau juga disebut arak di Nusantara adalah sejenis minuman yang merupakan hasil fermentasi dari bahan minuman/buah yang mengandung gula. Tuak sering juga disebuat pula arak adalah produk yang mengandung alkohol. Bahan baku yang biasa dipakai adalah: beras atau cairan yang diambil dari tanaman seperti nira kelapa atau aren, legen dari pohon siwalan atau tal, atau sumber lain.

Tuak telah dikenal cukup lama dan menjadi minuman yang dijajakan secara bebas sejak dulu oleh masyarakat di berbagai wilayah di Nusantara. Masyarakat di berbagai tempat di Nusantara membangun tempat penjualan dan warung tuak atau yang disebut juga Lapo Tuak.

Biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.

Penjual Tuak di pasar Leneke Lombok Timur tahun 1920 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Tidak hanya warung tuak sebagai tempat minum bersama, tuak atau arak dijual berkeliling oleh pedagang di Jawa, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali dan diberbagai tempat di Nusantara. Beberapa foto pada masa jaman kolonial Belanda menunjukkan bahwa tuak dijual berkeliling oleh para pedagang dengan memakai bambu sebagai tempat tuak dan dijinjing secara sederhana. Masyarakat pembeli meminum tuak tersebut di jalan. Tuak sejak dahulu merupakan minuman sebagai penghangat badan sehingga banyak digemari.

Keberadaan warung-warung tuak dan penjaja tuak keliling pada masa kini mungkin hanya tinggal kenangan karena selain kalah bersaing dengan minuman beralkohol impor juga adanya pelarangan dari masyarakat dan pihak pemerintah untuk secara bebas memperjualbelikan minuman beralkohol. Hal ini menambah daftar panjang budaya Nusantara yang musnah, tidak hanya penjaja keliling tuak kemungkinan teknologi fermentasi tradisional juga akan turut musnah.

———————-0000000000000——————-

Pedagang Kaki Lima (PKL) Pada Masa Kolonial Belanda

Koleksi Sanapustaka Kraton Kasunanan Surakarta

 

 

Pedagang kaki lima (PKL) sebuah usaha perdagangan masyarakat yang telah ada dan berkembang sejak jaman kolonial Belanda. Ketika pemerintah kolonial menguasai industri-industri perkebunan maupun industri besar lainnya, pemerintah kolonial Belanda memberikan hak istimewa kepada masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat timur jauh untuk menjadi pedagang perantara dari hasil industri kolonial Belanda. Baca lebih lanjut