Jawa Dalam Politik Candu (Opium) Kolonial Belanda

Para Pemakai Opium di Jawa Tahun 1875 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Kenapa candu menjadi perhatian yang besar pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad 19 dan awal abad 20? Tak lain adalah keuntungan yang di dapatkan dari aktifitas perdagangan ini. Candu memang tidak ditanam di Hindia Belanda melainkan barang yang masuk ke hindia Belanda khususbya Jawa melalui jalur perdagangan dan telah digunakan oleh masyarakat Jawa sejak dahulu sebagai pengobatan berkaitan dengan kesegaran tubuh dan sebagai obat lelah. Candu awalnya dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai bahan campuran minuman (teh dan kopi), ada juga yang mengkonsumsi candu dengan cara dimakan (Jawa: mangan, nyeret) atau dirokok dengan menggunakan pipa (Jawa:Ngudud). Berbagai literatur Jawa seperti Serat Suluk Gatolotjo dan Surat Kabar Djawi Hiswara telah menuliskan adanya penggunaan candu yang berbentuk lintingan rokok sebagai bagian dari pemberian sajen kepada nenek moyang.

Candu menjadi menarik karena pada awal mula perdagangan komoditi ini muncul pada abad ke-16 VOC sudah mulai tertarik dan bersaing dengan pedagang-padagang dari Inggris, Denmark dan Arab. Menurut James R. Rush monopoli perdagangan candu yang didapatkan oleh VOC berkaitan dengan perjanjian antara VOC dan Sultan Amangkurat II, raja Mataram untuk memasukan candu ke wilayah kekuasaan Mataram. Monopoli candu yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda selalu mengalami perubahan. Pertama ketika VOC memegang monopoli ini sistem yang digunakan adalah amfioen societeit yaitu sebuah badan perantara yang melakukan penjualan candu di wilayah Indonesia dari tangan VOC. Karena tidak memberikan keuntungan yang diharapkan dan banyaknya perdagangan gelap maka sistem ini diganti dengan amfioen directie. Setelah bubarnya VOC pemerintah kolonial Belanda mengganti sistem monopoli candu dengan sitem pemborongan (pachtstelsel). Sistem pemborongan ini (opiumpacht) dijalankan selama abad ke-19. Sistem monopoli candu ini pun bukan sistem yang terbaik yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda karena sistem ini menimbulkan berbagai masalah yaitu pemerasan, penyelewengan, dan menimbulkan jatuhnya wibawa pemerintah kolonial Belanda. Para pemborong (pachter) banyak melakukan tindakan korupsi dan terlibat dalam perdagangan gelap. Mereka juga melakukan pemerasan terhadap rakyat yang berhutang candu. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi rakyat dimana rakyat menjadi miskin dan sengsara akibat sistem pemadatan ini. Sistem opiumpacht yang sangat merugikan ini ditentang oleh banyak orang terutama oleh Anti Opium Bond pada tahun 1890. Anti Opium Bond ini juga menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.

Sistem penjualan candu yang baru, opium regie merupakan monopoli penjualan candu oleh pemerintah secara keseluruhan mulai dari impor hingga candu sampai ke tangan pembeli. Sistem opium regie ini mengadopsi sistem yang dijalankan oleh Perancis di Indo China. Opium regie mulai diberlakukan pada tahun 1894 di Madura dan pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda melarang penanaman opium di seluruh Hindia Belanda, opium diimpor dan diolah dipabrik yang didirikan di Batavia.

Keluarga Mantri Candu di Ubud Bali 1908 (Koleksi: Tropen Museum, Belanda TMnr_10023781)

Sistem opium regie mengharuskan penjual yang disebut mantri candu, mencantumkan papan nama disetiap bangunan yang menjual candu dengan nama “Kantor Penjualan” dengan bahasa Belanda, Melayu dan bahasa daerah dimana candu tersebut di jual. Biasanya loket penjualan candu terdapat di wilayah-wilayah yang dekat dengan masyarakat seperti dekat pasar, perkebunan, dan pelabuhan.  Loket candu ini dibuka pada siang hari mulai jam 12 siang hingga jam 10 malam, pada hari minggu dan hari-hari besar seperti Gerebeg puasa, hari ulang tahun kerajaan Belanda loket penjualan candu ditutup. Para pembeli candu diijinkan untuk memakai candu di warung-warung candu (bambon peteng) yang telah ditunjuk oleh dinas opium regie.

Pemerintah kolonial Belanda juga mengontrol daerah-daerah penjualan candu dengan menetapkan jenis konsumen (Eropa, Pribumi dan China) dan melarang beberapa golongan masyarakat untuk mengkonsumsi candu yaitu militer, anggota kerajaan, pegawai pemerintah dan orang yang belum berumur 20 tahun. Daerah-daerah peredaran candu juga ditetapkan yaitu daerah terbuka (konsumen bebas untuk membeli dan mengkonsumsi candu tanpa lisensi). Daerah terbuka untuk perdagangan candu yaitu Batavia, Meester Cornelis, Semarang dan Surabaya. Daerah lisensi (pembeli harus mendapatkan ijin untuk membeli candu dan menggunakannya). Di Jawa sebagian besar adalah daerah berlisensi sehingga masyarakat yang akan mengkonsumsi candu harus mengajukan surat permohonan kepada kontrolir untuk diberikan ijin. Pemohon ijin penggunaan candu harus mencantumkan penghasilan mereka untuk ditentukan oleh petugas berapa candu yang boleh dikonsumsi dalam sehari sehingga tidak terjadi pemborosan.

Pendapatan dari penjualan opium regie ini telah menyumbang 15% dari total pendapatan pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1920-an yaitu hampir  f. 30 Juta melebihi jumlah pendapatan dari ekspor perkebunan Kina. Pendapatan dari opium regie ini banyak membantu keuangan pemerintah Kolonial Belanda pada masa resesi ekonomi, ketika hasil ekspor perkebunan turun 50-60% penjualan opium regie hanya turun 14% sehingga pemerintah Kolonial Belanda banyak tertolong dari politik perdagangan candu ini.

Diolah dari:

1. James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910. Yogyakarta: Mata Bangsa.

2. Narti, Perdagangan Candu di Jawa Tahun 1920-1930 dalam Lembaran Sejarah Vol. 2, No. 1, Tahun 1999, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, UGM.

7 comments on “Jawa Dalam Politik Candu (Opium) Kolonial Belanda

  1. Tulisannya bagus Pak. Apakah saya bisa mengakses artikelnya Narti di atas? saya coba akses via google hanya ada abstraknya saja.

Tinggalkan komentar