Mengenang Penderitaan Sang Kuli

Kontrolir Menunjukkan kekuasaannya di Onderneming Tembakau Sumatra Utara (Koleksi: Tropen Museum Nederland TMnr_60001693)

Eksploitasi memang tak akan pernah habis untuk selalu digunakan, baik untuk mengeruk kekayaan alam maupun manusianya. Dapat juga dipadukan keduanya eksploitasi manusia dan sumber daya alam sekaligus. Hindia Belanda masa kolonial adalah tempat dimana pemerintah kolonial Belanda melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia begitu massif melalui industri perkebunannya, baik yang dilakukan di Jawa maupun luar Jawa. Eksploitasi sumber daya alam yang memanfaatkan manusia sebagai tenaga kerja menjadi polemik yang berkepanjangan karena sifat eksploitasinya yang merugikan. Tenaga kerja ini dinamakan budak, atau menurut Anthony Reid, budak dapat diartikan sebagai pemiutang atau dengan istilah lainnya disebut orang tanggungan, atau kawula karena mereka mendapatkan uang panjar sebelum bekerja. Istilah perbudakan ini berangsur-angsur digantikan dengan istilah kuli dan buruh.

Eksploitasi ini menurut Anatona dalam tulisannya Antara Buruh Dan Budak: Nasib Kuli Kontrak Perkebunan Di Sumatera Timur Pada Akhir Abad Ke-19 Hingga Awal Abad Ke-20 (Makalah pada Konfrensi Nasional Sejarah IX, Jakarta 5-7 Juli 2011) telah terjadi Berabad-abad lamanya, pada masa sebelum hingga memasuki kurun waktu abad ke-19, pemakaian istilah buruh atau kuli sebagai kata ganti untuk menyebut tenaga kerja kasar masih belum lagi populer. Tenaga kerja kasar yang dipakai di berbagai belahan dunia pada waktu itu disebut dengan istilah budak (slave). Tenaga budak sangat diandalkan untuk bekerja pada berbagai sektor. Sejak abad ke-17, tenaga kerja budak terutama sekali digunakan pada sektor perkebunan yang banyak dikelola oleh orang-orang Eropa di daerah-daerah koloni mereka yang tersebar di Afrika, Amerika dan Asia. Sebagai contoh perkebunan kapas, tebu dan kopi di Amerika dan perkebunan lada di Bengkulu. Tenaga kerja yang dipakai di perkebunan tersebut terdiri dari budak yang sebagian besar didatangkan dari Afrika.

Kuli berkebangsaan Cina di sebuah perkebunan di Deli 1900 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Memasuki kurun waktu abad ke-19, pekerjaan-pekerjaan yang menggunakan tenaga kerja budak mulai berkurang. Penurunan ini sebagai konsekuensi kebijakan penghapusan perbudakan dan larangan perdagangan budak. Larangan perdagangan budak pertama kali lahir di Inggris pada tahun 1807. Kebijakan ini kemudian diterapkan pula di daerah-daerah koloni Inggris termasuk di Asia Tenggara. Pada tahun 1818 Belanda mengikuti pula jejak Inggris melarang perdagangan budak di Hindia Belanda. Menggunakan waktu sekitar setengah abad lamanya, secara bertahap, larangan perdagangan budak ternyata berhasil menghentikan lalu lintas perdagangan budak. Setelah tahun 1860-an, tidak ada lagi tenaga budak yang bekerja di perkebunan milik orang Eropa khususnya Inggris dan Belanda.

Kebijakan politik kolonial pasca larangan perdagangan budak menimbulkan persoalan. Munculnya usaha-usaha perkebunan otomatis membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit dan harus dikelola secara profesional. Tenaga kerja budak yang sebelumnya sangat diandalkan untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan di perkebunan tidak mungkin lagi didapatkan. Gencarnya larangan perdagangan budak sejak awal abad ke-19, secara perlahan tapi pasti, berpengaruh terhadap tingkat ketersediaan tenaga kerja. Orang tidak lagi berani memperdagangkan budak, membawa, dan mempekerjakannya secara terang-terangan. Oleh karena itu, pengusaha perkebunan tidak lagi menggunakan tenaga budak untuk bekerja di lahan-lahan perkebunan, melainkan menggunakan buruh upahan yang disebut kuli yang diikat dengan kesepakatan (kontrak) sehingga mereka lazim disebut kuli kontrak.

Isu perbudakan yang lebih serius kemudian menimpa kehidupan para kuli kontrak yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang baru dibuka di Sumatera Timur. Isu ini berawal pada tahun 1880 tepat pada saat setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan mengenai ordonansi kuli (koeli ordonatie) yang isinya mengatur tentang tugas-tugas kewajiban dan hak-hak kuli. Ordonansi kuli menyertakan pula poenale sanctie yaitu sanksi hukum (penal sanctions) yang akan dikenakan terhadap para kuli yang melanggar aturan tersebut. Poenale sanctie pada dasarnya bertujuan untuk mengikat para kuli dari ketaatan-ketaatan yang terdapat dalam ordonansi kuli, sehingga merupakan ancaman bagi kuli yang melanggar peraturan.

Kuli dari Jawa 1885-1895 (Koleksi: Tropen Museum Nederland TMnr_60001800)

Isi kontrak kerja dalam ordonansi kuli seperti yang tertera dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 133 tahun 1880 menentukan bahwa tidak boleh ada hubungan antara kuli dan majikan tanpa sebuah perjanjian tertulis. Setiap kuli yang baru tiba harus didaftarkan oleh pemerintah lokal. Dalam kontrak tertera nama dan pekerjaan. Lama pekerjaan 10 jam sehari selama periode kontrak tiga tahun. Pejabat yang bertanggung jawab harus membuktikan kebenaran, apakah kontrak dilakukan secara sukarela dan kuli secara meyakinkan melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dan tidak boleh meninggalkan perkebunan tanpa izin tertulis. Kontrak itu menentukan kewajiban pihak majikan menyediakan pemondokan lengkap dengan fasilitas air cuci dan air minum. Pihak majikan juga wajib menyediakan fasilitas perawatan medis. Apabila kontraknya berakhir, kuli harus dikembalikan ke tempat asalnya jika kuli menginginkan begitu.

Ordonansi kuli pada dasarnya dibuat untuk mengatur hubungan kuli dan majikan. Butir-butir yang tertera dalam aturan ini terkesan bagus, namun di dalam pelaksanaan tidaklah demikian. Pelaksanaan peraturan yang tidak sebagaimana mestinya, ditambah dengan pemberlakukan sanksi hukum sangat merugikan dan memberatkan para kuli. Hampir tidak ada fasilitas yang memadai seperti yang dipaparkan dalam peraturan kuli tersebut. Para kuli di perkebunan justru hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Mereka tinggal di barak-barak yang penuh sesak tanpa fasilitas air bersih, kamar mandi, dan jamban. Mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup. Kalaupun ada, seperti yang dijual di kedai-kedai perkebunan, harganya sangat mahal. Kesehatan para kuli juga tidak tertangani dengan baik. Berbagai macam penyakit menular yang diderita para kuli, dapat pula membawa kematian. Hal ini diperparah dengan upah yang kecil yang tidak sepadan dengan tenaga dan waktu yang mereka keluarkan. Selain itu, kuli kontrak juga seringkali menerima perlakuan yang semena-mena dari para pengusaha perkebunan. Semua ini hampir mirip dengan perlakuan terhadap budak.

Perkampungan Kuli di perkebunan Kopi, Jawa 1890 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Jan Breman mengobservasi nasib para kuli ini dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad ke-20. Lewat penelitiannya ia memaparkan praktek keji politik kolonial terhadap ribuan kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan Sumatra Timur pada awal abad 19 hingga awal abad 20. Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan Bremen jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka diseret kuda dengan tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan–maaf–digosok kemaluannya dengan merica halus. Hukuman ini tidak ada bedanya dengan hukuman yang diberikan untuk para budak yang melarikan diri. Bahkan ada semacam polisi untuk menangkap para kuli-kuli yang melarikan diri dari perkebunan.

Kembali ke masa kini, praktek-praktek perbudakan melalui aksi kekejaman majikan terhadap para pekerja tetap sering terjadi, terutama bagi para wanita kita yang bekerja di luar negeri. Bagaikan budak mereka sering disiksa atau sengaja disiksa oleh majikan-majikan mereka. Dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk membela dan memperjuangkan hak-hak mereka. Penghisapan manusia atas manusia memang mengerikan, maka tidak mengherankan bahwa hal ini harus terus diingat dan dilawan agar manusia memiliki nilai kemanusian dalam hubungan sosialnya.

———————–000000000000—————-

Sumber Bacaan:

1. Jan Breman. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad ke-20. Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, 1997).

2. Dr. Anatona, M.Hum. Antara Buruh Dan Budak: Nasib Kuli Kontrak Perkebunan Di Sumatera Timur Pada Akhir Abad Ke-19 Hingga Awal Abad Ke-20 (Makalah pada Konfrensi Nasional Sejarah IX, Jakarta 5-7 Juli 2011).

3. Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di bawah Angin, Jilid I. (Penerjemah: Mochtar Pabotinggi). Jakarta: Yayasan Obor. 1992.

2 comments on “Mengenang Penderitaan Sang Kuli

Tinggalkan komentar