Pemukiman Tionghoa di Surakarta Masa Kolonial

Pemukiman Tionghoa di Surakarta Tahun 1901 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pemukiman masyarakat Tionghoa terletak di utara Sungai Pepe sekitar Pasar Besar ke timur di Ketandhan hingga Limalasan, ke utara sampai di Balong, ke sebelah utara menuju Warungpelem. Sedangkan pemukiman masyarakat Arab terletak di Pasar Kliwon dan Kedung Lumbu. Pemisahan ini menunjukan adanya sebuah politik segregasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial sebagai kontrol atas kekuasaan politiknya. Hingga saat ini pemukiman-pemukiman tersebut masih bertahan walaupun telah terjadi persebaran penduduk ke wilayah-wilayah lain di Surakarta. Sebagian besar etnik Tionghoa di Surakarta tinggal di kota, pada umumnya tempat tinggal mereka merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan utama. Deretan rumah-rumah tersebut merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap dan tidak memiliki pekarangan. Bentuk rumah diperkampungan etnik Tionghoa juga dapat terlihat dengan jelas karena memiliki ciri-ciri yang khas yaitu pada ujung atapnya selalu lancip dan ada ukiran-ukiran yang berbentuk naga. Perumahan semacam ini nampak di daerah Pasar Legi, Pasar Gedhe dan daerah Secoyudan.

Kehidupan diperkampungan Tionghoa ini, banyak dilakukan kegiatan-kegiatan tradisi etnik Tionghoa yang berasal dari negeri leluhurnya. Diruang tamu selalu terdapat altar untuk memuja para leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Dan di setiap tahun baru selalu diadakan perayaan-perayaan yang menampilkan kesenian-kesenian dari tanah leluhur mereka.Ciri khas dari perkampungan etnik Tionghoa adalah perkampungan ini dikepalai oleh seorang etnik Tionghoa yang diberi pangkat Mayor pada masa kolonial Belanda dan biasa disebut Babah Mayor.

Woning van den Majoor der Chineezen - Solo 1906 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pemukiman Tionghoa di wilayah Surakarta maupun wilayah lain di Indonesia menurut Werner Rutz ada melalui lima tahap perkembangan yaitu pertama pemukiman-pemukiman tua yang lebih banyak dibentuk oleh pengaruh Hindu India. Dikatakan:

“This was predetermined arrangement of the ruler’s seat, the place of worship and the central meeting place around a central crossroads which was located following the main points of the compass”. (bahwa pemukiman telah disusun oleh penguasa, tempat pemujaan dan tempat pusat pertemuan berada disekitar jalan utama dimana terletak mengikuti arah mata angin).

Kedua, tradisi asli pemukiman pre-Hindu Malayan yang disebut kampung. Ketiga perkembangan struktur pemukiman ditandai dengan masuknya pendatang-pendatang dari daratan Cina ke Asia Tenggara yang umumnya bertujuan dagang. Keempat adalah tahap perkembangan struktur pemukiman modern yang dibangun oleh orang Eropa sekitar abad ke-17 seiring dengan masuknya Portugis, Spanyol, dan Belanda. Tahap terakhir adalah terbentuknya berbagai pemukiman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang menampilkan sosok pengaruh industrialisasi Eropa. Dari kelima tahapan ini, tahap ketiga sampai kelima akan berkaitan langsung dengan perkembangan pemukiman masyarakat Cina.

Klentheng Tien Kok Sie Pasar Gedhe - Solo 1906 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Pemukiman etnik Tionghoa di Surakarta masa kolonial terbentuk akibat aktivitas perdagangan dengan berbagai elemen penting yang terdapat di pemukiman tersebut. Elemen penting dalam pemukiman etnik Tionghoa adalah adanya Klenteng sebagai pengikat dan penyatuan elemen masyarakat etnik Tionghoa yang terdiri dari kelas pedagang, kelompok fungsional dan masyarakat biasa. Di klentheng inilah aktifitas sosial antar etnik Tionghoa dilakukan juga sebgai pennada perekat etnisitas masyarakat Tionghoa. Di Surakarta Klenteng yang biasa digunakan oleh masyarakat Tionghoa adalah Klenteng Tien Kok Sie di Pasar Gede yang berdiri  pada tahun 1745 sebagai pemujaan kepada Dewi Kwam Im dan klenteng ini bersifat budhis walaupun ada beberapa altar yang digunakan untuk pemujaan agama lain. Klenteng-klenteng lain yang menjadi elemen penting penguat etnisitas masyarakat Tionghoa di Surakarta adalah Klentheng Poo An Kiong di wilayah Coyudan.

Pasar Gedhe Surakarta Pusat Aktifitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Surakarta tahun 1930 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Elemen penting lain dalam pemukiman masyarakat Tionghoa adalah pasar dan pelabuhan (public harbour area) untuk masyarakat Tionghoa yang berada di Surakarta, bandar kali pepe merupakan pelabuhan untuk aktifitas ekonomi masyarakat Tionghoa di Surakarta pada masa kolonial yang sekarang telah hilang. Sedangkan pasar Gedhe menjadi pusat aktifitas ekonomi ditunjang dengan letak perumahan yang dekat dengan jalan raya menjadi elemen penting untuk menghubungkan aktivitas bisnis masyarakat Tionghoa dari rumah menuju tempat aktifitas ekonomi yang terpusat di sebuah pasar. Pasar selain sebagai  aktifitas ekonomi juga sebagai aktifitas sosial dengan penduduk lokal, sedangkan akses atau orientasi serta jalan adalah penunjang bagi aktifitas ekonomi masyarakat Tionghoa di Surakarta.Elemen-elemen ini jelas terlihat dalam setiap model pemukiman masyarakat Tionghoa terutama di Surakarta masa kolonial.

Letak pemukiman yang strategis sepanjang jalan utama kota Surakarta dan kedekatan pemukiman masyarakat Tionghoa dengan pasar menjadi sebab aktivitas ekonomi etnik Tionghoa menjadi maju.


Diolah dari:

1. A.P.E. Korver. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Grafiti Pers: Jakarta. 1985.

2. Mona Lohanda. The Kapitan Tionghoa of Batavia 1837-1942. Jakarta: Djambatan. 2001.

3. I. Wibowo (ed). Retropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. 1999.

4.Benny Juwono, “Etnik Cina di Surakarta 1890-1927”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 2 No. 1, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.

1 comments on “Pemukiman Tionghoa di Surakarta Masa Kolonial

  1. Ping-balik: Catatan Tentang Sebuah Blog Sejarah « Lapak Aksara

Tinggalkan komentar