Opas sang Penjaga dan Pelayan

Dua opas Asisten Residen di Jawa tahun 1870 (Koleksi: www.kitlv.nl)

Dua opas Asisten Residen di Jawa tahun 1870 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Oppasser atau oppas dalam kamus bahasa Belanda-Indonesia dapat diartikan sebagai penjaga atau pelayan. Oppasser (opas) memang bagian dari kehidupan masa lampau Hindia Belanda. Oppasser dapat dikatakan bagian dari pekerja domestik bagi keluarga-keluarga Belanda maupun bangsawan dan pejabat pemerintahan kolonial yang tinggal di Hindia Belanda juga ia adalah para pegawai rendahan di instansi milik pemerintah kolonial Belanda.

Juru Tulis dan Opas di Jawa Tengah tahun 1900 (Koleksi: www.kitlv.nl)

Juru Tulis dan Opas di Jawa Tengah tahun 1900 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Selain sebagai penjaga, oppasser juga berfungsi sebagai pelayan. Dalam novel karya Semaoen, Hikayat Kadiroen yang ditulis tahun 1919, diterbitkan sebagai fuilleton (cerita bersambung) di Surat Kabar Sinar Hindia tahun 1920 ada bagian yang menceritakan bagaimana kehidupan seorang opas dalam novel tersebut. Opas dalam novel ini adalah penjaga dan juga sekaligus pelayan bagi Asisten Wedono. Hal ini terlihat dari percakapan berikut:

“Opas, Asisten Wedono ada?”

“Ada Kanjeng Tuan!”

“Saya mau bicara dengannya.”

“Saya Kanjeng, hamba akan segera mengatakannya!”

Begitulah tanya jawab antara Tuan Zoetsuiker, administratur pabrik gula Semongan, pagi tanggal 6 Februari 19…, di muka pendopo rumah Tuan Asisten Wedono dari Onderdistrik Semongan juga.

Yang disebut sebagai Opas di sini adalah seorang tua yang bernama Pigi. Ia sudah 33 tahun bekerja menjadi Opas Asisten Wedono Semongan juga. la sudah biasa mendapat pelajaran bagaimana menghormati semua tamu-tamu Belanda. Apalagi jika tamunya itu adalah seorang Tuan Administratur. Tamu orang besar seperti itu pasti akan dia sebut kanjeng. Demikian pula apa yang diperintahkan oleh para tamu-tamu besar semacam itu pasti segera dilaksanakan dengan secepat-cepatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Opas Pigi segera berlari seperti dikejar harimau, menghadap Tuan Asisten Wedono yang sedang makan pagi di ruang makan rumah belakang. Ketika Tuan Asisten Wedono mengetahui ada tamu Tuan Administratur, ia segera berhenti makan. Ia mengambil baju jas dan dengan tergopoh-gopoh seperti orang yang hendak naik kereta api yang siap berangkat, berlari ke pendopo untuk menemui tamu besar Tuan Administratur tersebut.

“Tabik, Asisten! Saya kasih tahu sama Asisten, tadi malam ada pencuri ambil satu ayam yang nyonya beli di Surabaya. Harganya dulu f.2,50. Jadi seekor ayam bagus itu. Saya mau supaya Asisten cari pencuri dan ayamnya. Besok lusa saya ingin tahu kabarnya.”

“Saya Kanjeng, sebentar lagi saya akan datang ke rumah Kanjeng untuk mengurusnya sendiri.”

“Baik, Asisten. Jadi Asisten mau pigi…”

“Kanjeng…!” Terdengar suara keras Opas Pigi dari luar. Ia segera berlari dan duduk bersila seperti katak menghadap Tuan Administratur. Tuan administratur menjadi sangat terkejut dan marah besar, karena ia tidak merasa memanggil opas. Tetapi kini datang seorang opas. Ia mengangkat kakinya, dan sambil sepatunya terarah ke muka opas ia berteriak:

“Pigi!”

“Hamba Kanjeng!”

Opas Pigi tetap duduk sambil menyembah-nyembah mendapat usiran Tuan Administratur. Sudah barang tentu, Tuan Administratur bertambah marah dan berkata pada tuan Asisten Wedono

“Asisten, ini opas gila. Apa sebab tidak lekas dipecat?”

Pada saat itu Tuan Asisten baru menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam hal ini terdapat salah pengertian karena opas itu namanya Opas Pigi. Jadi, sewaktu Tuan Administratur berkata  “pigi”, maka Opas Pigi mengira ia dipanggil.

Tuan Administratur mengerti hal itu ia tertawa terbahak-bahak dan Tuan Asisten Wedono pun berani ikut tertawa. Sedang Opas Pigi keluar dengan wajah menanggung malu.”

Kehidupan opas memang bukan kehidupan yang menguntungkan terlebih ketika terjadi krisis ekonomi di Hindia Belanda yang dimulai pada tahun 1920-an dengan penurunan hasil-hasil industri perkebunan. seperti yang diberitakan dalam Surat kabar Sin Po, 30 Desember 1921, Pemerintah kolonial Belanda melakukan penghematan besar-besaran dengan mengurangi pegawai pemerintahan dengan memecat pegawai rendahan seperti juru tulis dan opas kantor serta menaikkan pajak kepala.

Selain itu Opas juga dapat dikatakan sebagai penjaga keamanan yang dapat melakukan tindakan kekerasan terhadap pelaku kriminal atas perintah atasannya seperti yang digambarkan dalam novel Hikayat Kadiroen juga:

Sementara pikiran Kadiroen penuh dengan kemuliaan dan kebaikan, tiba-tiba ia mendengar Tuan Asisten Wedono yang memanggil Opas Pigi.

“Opas, coba kau siksa Soekoer si pencuri itu. Sudah satu hari ia tidak saya beri makan dan minum supaya ia menjadi kelaparan dan kehausan sehingga ia mau mengakui perbuatannya. Tetapi sampai sekarang ia belum juga mengakui kesalahannya.”

“Baik Ndoro!” kata Opas Pigi. Ia mengambil sepotong rotan dan segera memukuli telapak kaki Soekoer. Sebuah siksaan yang amat kejam dan keras. Tetapi tidak sampai menimbulkan luka sehingga tidak kentara. Karena siksaan itu Soekoer hanya dapat meraung dan menjerit-jerit. “O, Tuhan Allah, apakah dosa saya sehingga disiksa seperti ini. Disuruh mengaku mencuri, padahal saya memang benar-benar tidak melakukannya. O, ya Allah ….”
“Pukul lagi yang keras!” kata Asisten Wedono.

Dapat dikatakan bahwa opas adalah sebuah pekerjaan yang memang hingga sekarang masih terlihat. Ia berubah nama menjadi Satuan Keamanan (Satpam) yang tugas dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan opas pada masa kolonial Belanda dahulu.

————-0000—————

3 comments on “Opas sang Penjaga dan Pelayan

  1. Mas, thanks for your blog and for publishing. My compliments to you.

    The story about Mas Pigi and “keliruhan” made me reminding a same “mistake” that truly happened in the late years of 1958/1959 or something at Surabaya.

    Situation: A Chinese family living at the Jl Legundi had a dog and one day this dog escaped and ran away into the direction of a neighbouring army base (tangsi angkatan laut) located at the corner of the Jl Anggrek/Jl Kusuma Bangsa. (These days it is a mall).

    The “pembantu” was ordered to catch the dog and so she ran after the dog also into the direction of the army base which of course was guarded and one of the guards was ranked being a Corporal. (Kopral).

    BHowever, by some stupid coincidence, the dog was named “KORPORAAL” ( Dutch for CORPORAL.). Can you imagine the following situation?

    The pembantu ranning across the street calling “KOPRAL KOPRAL, come here !!!” The guard of the base was alarmed, thought he was being called for an emergency and immediately left his post, ranning towards the pembantu.

    The pembantu, watching the guard ranning towards her and not aware of the misunderstanding she caused, got scared and ran homewards and the Kopral was running after her.

    The whole situation had to be explained by the dog owner to the Corporal.

    The most amazing part however was the happy ending of this story, since the pembantu and the Kopral became a couple and married after a while.

    Mohon maaf pake bahasa inggris.

  2. Menarik sekali ketika membaca mengenai Oppas, sewaktu saya masih kecil, kakek saya pernah cerita kalau mbah buyut saya atau bapak dari kakek saya adalah seorang Oppas, kalau tidak salah sama seperti penjaga tahanan menurut cerita kakek saya dan dimasa itu justru seorang Oppas dianggap sebagai orang terpandang, bahkan mempunyai isteri lebih dari satu.
    Mungkin kalau ada perkataan kurang berkenan mohon maaf, saya hanya ingin sharing Oppas itu apa dan siapa…Terima kasih sebelumnya

Tinggalkan komentar